Walai.id, Jakarta – Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Indonesia diwakili oleh Rusprita Putri Utami, turut serta dalam International Symposium on “Violence in Schools: Knowledge, Policies, and Practices” yang diadakan oleh Conseil Superieur de l’Education, de la Formation et de la Recherche Scientifique (CSEFRS) di Maroko pada 1-2 November 2023.
Rusprita hadir sebagai perwakilan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim.
Simposium internasional ini mengumpulkan pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Maroko, Kanada, Inggris, Perancis, Finlandia, dan Amerika Serikat.
Juga turut serta dalam acara ini adalah perwakilan dari organisasi internasional seperti PBB, UNICEF, dan UNESCO.
Tujuan utama pertemuan ini adalah untuk membahas praktik baik dalam mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan sekolah, sebagai wujud komitmen bersama dalam memberantas kekerasan di dunia pendidikan.
Rusprita Putri Utami menjadi salah satu pembicara utama dalam simposium ini, membahas peran pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Ia juga membagikan praktik baik yang telah diterapkan di Indonesia, khususnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dalam usaha mencegah dan mengatasi kekerasan di sekolah.
Dalam pidatonya, Rusprita menyatakan komitmen kuat Indonesia dalam memerangi semua bentuk kekerasan di sekolah.
Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia yang mencakup penciptaan lingkungan masyarakat yang aman dan inklusif, penyediaan akses yang adil untuk semua, dan pendirian institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
“Kami berkomitmen untuk mengurangi segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia, serta segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak,” tegas Rusprita.
Indonesia telah menerapkan berbagai inisiatif dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, salah satunya melalui program Roots yang bekerja sama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF).
Program Roots bertujuan untuk menghentikan praktik perundungan di sekolah dengan membentuk agen-agen perubahan, yang hingga saat ini mencapai jumlah 66.901 siswa agen perubahan.
Rusprita menjelaskan bahwa program Roots di Indonesia telah berjalan dengan baik, baik secara tatap muka maupun daring sejak tahun 2021.
Program ini berhasil mendorong 34,14 persen sekolah yang ditargetkan untuk membentuk Tim Pencegahan Kekerasan dan 32,41 persen sekolah untuk mengembangkan prosedur pelaporan yang ramah bagi siswa untuk melaporkan kekerasan di sekolah.
Sebanyak 79,66 persen fasilitator guru mengakui bahwa hubungan mereka dengan siswa menjadi lebih positif, dan siswa merasa aman untuk melaporkan insiden perundungan di sekolah.
Selain program Roots, upaya pencegahan kekerasan juga ditingkatkan melalui kampanye yang disebarkan melalui berbagai platform media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, dan Podcast.
Rusprita menekankan efektivitas kampanye ini dalam menyebarkan pesan anti-kekerasan di lingkungan sekolah dan dunia pendidikan, terutama di era digitalisasi saat ini.
Di sisi regulasi, Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).
Peraturan ini mendorong pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah. Meskipun masih baru, Permendikbudristek PPKSP telah memberikan dampak positif, terutama dalam mendorong sekolah untuk membentuk TPPK.
Rusprita menyatakan target pemerintah Indonesia untuk seluruh sekolah membentuk TPPK pada bulan Februari 2024, enam bulan setelah regulasi tersebut diluncurkan.
Tidak hanya di tingkat sekolah, Kemendikbudristek juga telah mengeluarkan regulasi untuk perguruan tinggi, yaitu Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini bertujuan melindungi seluruh sivitas akademika dari kekerasan seksual.
Rusprita mengajak seluruh peserta simposium untuk bersama-sama memperkuat komitmen dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, beragam, dan aman bagi semua. Indonesia terus memperkuat komitmen ini dalam mewujudkan visi pendidikan yang inklusif dan bebas dari kekerasan.