News  

Ketika Alam Tidak Lagi Diam, sumatera adalah alarm bagi kita.

Oleh:
Juliani
Ketua PMII Komisarit UMMA

Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Pulau Sumatera beberapa hari terakhir bukanlah peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah peringatan ekologis yang seharusnya terdengar hingga ke daerah lain, termasuk Kabupaten Maros. Bencana alam mungkin tak selalu bisa dicegah, tetapi tingkat kehancurannya tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh alam. Di titik itulah, pilihan dan tindakan manusia menjadi penentu.

Hujan ekstrem yang lebat hanyalah pemantik, masalah utamanya adalah ekologi yang rapuh. Lereng-lereng dipaksa bekerja tanpa henti, rawa dan gambut dikeringkan tanpa memikirkan dampak dimusim berikutnya, hutan ditebang, serta tambang dibiarkan beroperasi tanpa kendali. Ketika batas alam dilampaui, air tak lagi tertahan. Banjir menjadi keniscayaan.

Baca Juga :  Banjir Sumatera sebagai Alarm dini Kabupaten Maros

Dalam perspektif ekologi manusia, bencana terjadi saat relasi manusia dan lingkungan kehilangan keseimbangan. Sementara teori risiko sosial menegaskan bahwa bencana adalah akumulasi dari pilihan kebijakan mulai dari tata ruang yang abai, izin yang longgar, hingga penegakan hukum yang lemah. Dengan kata lain, banjir bukan semata takdir, melainkan hasil dari keputusan kolektif yang salah arah.

Sumatera kini menjadi cermin yang jujur bagi kabupaten Maros. Jangan sampai dihari esok terjadi hal serupa, melihat dari tanda-tanda kerusakan yang mulai tampak di berbagai kecamatan, terutama di Tanralili mulai dari aktivitas tambang, pembakaran lahan, alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi perumahan, pembuangan sampah ke sungai, hingga pembangunan perumahan yang terus meluas. Dampaknya perlahan terasa hingga kualitas lingkungan menurun, daya serap tanah melemah, dan risiko banjir serta longsor meningkat.

Baca Juga :  Warga Minta Pemerintah Tinjau Ulang Operasional PT PDS di Luwu Timur

Yang juga keliru dipahami, mitigasi bencana bukan urusan dua atau tiga minggu sebelum musim hujan. Ia adalah kerja panjang bertahun-tahun. Melindungi hutan, menata ulang tata ruang, mengendalikan tambang, dan membangun kesadaran ekologis masyarakat. Ketika kita baru sibuk setelah air meluap, sejatinya kita sudah terlambat.

Banjir Sumatera seharusnya menjadi refleksi. Apakah Maros akan belajar sebelum terlambat, atau menunggu tragedi serupa terjadi?

Bumi sebenarnya telah berbicara dengan bahasa tanda-tanda. Tinggal kita yang memilih mendengar, atau kembali mengabaikan.

Karena pada akhirnya, duka Sumatera adalah duka kita semua. Dan masa depan Maros ditentukan oleh keberanian kita hari ini untuk bersikap lebih bijak, dan peduli pada alam untuk keberlangsungan hidup kedepan.