Walai.id, Jakarta – Sejak dicanangkan pada akhir 2020 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah menginisiasi 138 desa menjadi model pengembangan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Saat ini, KemenPPPA tengah melakukan proses pemantauan dan evaluasi untuk mengukur praktik baik memulai dan capaian awal pelaksanaan DRPPA.
“KemenPPPA bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) meluncurkan program DRPPA pada akhir 2020 lalu. Beberapa desa yang menjadi lokasi model pengembangan DRPPA dan sebelumnya sudah pernah mendapatkan sentuhan program pembangunan berbasis desa, seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), desa inklusif, desa layak anak, dan sebagainya. Hal ini pun semakin menguatkan program-program yang dilakukan oleh masing-masing desa dalam upaya memenuhi indikator DRPPA,” tutur Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan, Titi Eko Rahayu dalam ‘Media Talk: Praktik Baik DRPPA’ secara virtual, pada Jumat (10/3).
Terdapat 10 indikator yang harus dicapai dalam pelaksanaan DRPPA, lima indikator terkait dengan kesiapan kelembagaan desa dan lima indikator lainnya merupakan indikator substansi prioritas KemenPPPA, yaitu pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan; peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak; penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak; penurunan pekerja anak; dan pencegahan perkawinan anak.
“Dalam mengembangkan DRPPA, penting untuk kita melakukan sinergi dan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) yang memiliki program berbasis desa, contohnya Desa Bersinar (bebas dari narkoba) yang ramah perempuan dan peduli anak, Desa Wisata Ramah Perempuan dan Peduli Anak, dan lain sebagainya. Ke depannya kami akan terus membangun sinergi dan kerja sama ini dengan K/L lainnya. Dari data yang di-input melalui Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) kemajuan capaian indikator kelembagaan DRPPA sudah sangat menggembirakan, sudah lebih dari 70 persen desa lokasi model telah memenuhi, bahkan beberapa variabel sudah diatas 85 persen,” lanjut Titi.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Desa Watukebo, Kabupaten Banyuwangi, Sri Bunik Eka Diana mengatakan, pelaksanaan DRPPA di Desa Watukebo diawali dengan kegiatan pemetaan untuk menemukan permasalahan perempuan dan anak.
Menurutnya, hal ini penting dilakukan mengingat pihaknya belum memiliki data, peraturan, maupun anggaran khusus terkait perempuan dan anak.
“Melalui DRPPA, desa kami diperkenalkan dengan Namanya Rembug Perempuan, dan dalam melakukan rembug perempuan mengundang pula laki-laki khususnya kepada dusun laki-laki, karena dibutuhkan keterlibatan laki-laki untuk menyelesaikan persoalan perempuan dan anak,” tutur Sri.
Tidak hanya itu, menurut Sri, pelaksanaan DRPPA juga mampu meningkatkan keterlibatan perempuan dan anak dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
“Melalui Rembug Perempuan, yang dihadiri perempuan desa dan juga mengundang Kepala Dusun laki-laki, para perempuan sudah mulai berani menyuarakan aspirasi serta menyampaikan berbagai permasalahan perempuan dan anak, termasuk solusinya,” kata Sri.
Sementara itu, Kepala Desa Pulau Sewangi, Kabupaten Barito Kuala, Syarifah Saufiah yang merupakan kepala desa perempuan pertama di pulau Sewangi menyebutkan, pelaksanaan DRPPA mampu meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintah desa, Badan Permusyawarahan Desa (BPD), lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat desa.
“Dari 12 Ketua Rukun Tetangga atau RT, terdapat 2 RT yang saat ini dipimpin oleh perempuan. Begitu pula dengan BPD, 2 dari 7 anggota BPD adalah perempuan. Ini menunjukkan, adanya perubahan di mana perempuan sudah berani mencalonkan diri menjadi pemimpin. Hal ini didorong oleh adanya DRPPA,” ujar Syarifah. Upaya yang menarik dan menantang yang dilakukan Syarifah dalam mencegah kekerasan melalui pengasuhan bersama, di mana ada kepedulian tetangga atau masyarakat sekitar pada semua anak, dan kewenangan yang dimiliki Kepala Desa mencegah perkawinan anak dengan tidak memberikan surat rekomendasi.