News  

Puluhan Ribu ABK Indonesia di Kapal Ikan Taiwan Bekerja di Bawah Ancaman Kerja Paksa

Walai.id, Jakarta – Di tahun 2022 ada sebanyak 10.925 anak buah kapal (ABK) migran asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan berbendera ataupun milik Taiwan, berdasarkan catatan Badan Perikanan Taiwan.

Dari jumlah tersebut, sebuah laporan terbaru Greenpeace Asia Timur mengungkap banyak di antaranya yang kemungkinan bekerja di bawah ancaman kerja paksa, Selasa 06/07/2022.

Laporan berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Dalam laporan kolaborasi Greenpeace Asia Timur-Taipei dan Greenpeace Amerika Serikat tersebut, tim mewawancarai 27 ABK migran yang beberapa di antaranya adalah orang Indonesia.

Tim menemukan bahwa mayoritas mengalami setidaknya satu indikator kerja paksa dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) – seperti lembur berlebihan, pemotongan upah, dan penyitaan dokumen.

Penuturan salah satu ABK, Tuan J, yang bekerja di kapal berbendera Taiwan Jubilee, “Kami bekerja setidaknya 16 jam sehari, dan terkadang pekerjaan kami dimulai pada jam 1 siang dan berakhir pada jam 5 pagi keesokan harinya.”

Baca Juga :  Wamendag Roro Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terus Menguat

Selain kesaksian para ABK, fokus dari laporan tersebut adalah membuktikan bahwa sistem “Trace My Catch” (TMC) milik Bumble Bee ternyata tidak dapat diandalkan.

Sistem tersebut mereka klaim sebagai platform untuk melacak dari mana ikan tuna dalam suatu kemasan ditangkap.

Sejumlah temuan utama dari investigasi Greenpeace, Setelah diperiksa dan ditelusuri hingga ke Badan Perikanan Taiwan dan Global Fishing Watch, ditemukan 13 dari 119 kapal berbendera dan/atau milik Taiwan yang memasok Bumble Bee telah melanggar peraturan perikanan Taiwan dan termasuk dalam daftar ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing).

Kemudian Sebanyak enam kapal pemasok Bumble Bee dan FFC teridentifikasi melakukan praktik kerja paksa.

Serta Tangkapan dari kapal Da Wang, yang awaknya didakwa atas tuduhan terkait kerja paksa dan perdagangan manusia. Selain itu, seorang ABK migran meninggal saat bekerja dikapal tersebut karena kecelakaan kerja.

Greenpeace menilai program Trace My Catch hanya formalitas dan telah memalsukan transparansi. Perlu penegakan hukum yang jelas di seluruh negara yang terlibat dalam rantai industri perikanan global.

Seperti AS sebagai salah satu importir makanan laut terbesar di dunia, Taiwan sebagai salah satu pedagang tuna terbanyak di dunia, dan Indonesia yang banyak mengirimkan ABK migran untuk bekerja di kapal-kapal penangkap ikan.

Baca Juga :  Industri Otomotif Indonesia Tunjukkan Pertumbuhan Positif di Tengah Tantangan Global

Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan laporan yang dirilis pada 1 September tersebut menegaskan peliknya persoalan dalam tata kelola bisnis perikanan global.

“Laporan ini mengkonfirmasi bahwa masih banyak persoalan dalam praktik bisnis perikanan global, banyaknya pelanggaran terutama praktik IUU fishing dan perbudakan terhadap pekerja kapal. Ini sangat mengecewakan, karena ternyata traceability atau ketertelusuran ikan dan transparansi kapal-kapal penangkap ikan yang memasok perusahaan sebesar Bumble Bee sampai saat ini masih tidak jelas,” kata Afdillah.

Laporan yang dirilis juga menegaskan masih banyak ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan yang tidak menjalankan aturan sesuai standar kerja yang diatur Konvensi ILO 188.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang berkampanye bersama Greenpeace Indonesia untuk menghentikan perbudakan modern di laut menyebut, laporan ini harus menjadi perhatian juga bagi pemerintah Indonesia.

“Pemerintah Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi ILO 188. Ini sebuah instrumen internasional yang akan memperkuat diplomasi Indonesia serta instrumen hukum pelindungan semua ABK baik lokal maupun migran yang sudah ada di negara kita, seperti UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 22/2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Itu dalam rangka memperbaiki tata kelola penempatan ABK ke luar negeri,” kata Ketua Umum
SBMI Hariyanto Suwarno.

Tinggalkan Balasan