Walai.id, Maros – Belakangan terakhir, isu penanganan sungai Maros terasa menghangat. Entah hangatnya seperti hangatnya matahari pagi pukul delapan pagi, ataukah hangatnya buroncong yang kita ngobrol sebentar sudah keburu dingin.
Beberapa hari lalu, saya cukup dikagetkan dengan skripsi Indra Adi Putra Salam, junior saya dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSP) Universitas Hasanuddin, tentang perubahan lahan pada DAS Sangkarak Maros-Pangkep. Dari laporannya itu, diketahui bahwa terdapat aneka ragam perubahan dari 2002-2018 (atau selama 16 tahun) pada aliran sungai, mulai dari perubahan garis sungai, yang disebabkan oleh abrasi/erosi dan sedimentasi, hingga perubahan tutupan lahan berupa lahan terbuka, vegetasi non mangrove, pegetasi mangrove, pemukiman, dan tambak.
Dari 408 transek yang dibuatnya pada Citra Landsat 2002-2018, terdapat perubahan sebesar 55,88% sedimentasi sungai dan sebesar 44,12% erosi mulai dari hulu hingga hilir Sangkarak. Di Kecamatan Bontoa pada 2002-2008 terdapat sedimentasi sisi kanan sungai tertinggi hingga 30,86 meter (transek no. 220). Tapi jika dirata-ratakan, terdapat kira-kira 1-3 meter sedimentasi pertahunnya di sungai yang mengalir di Kecamatan Bontoa. Sedangkan erosi sisi kanan sungai tertinggi yaitu 31,12 meter (transek no. 66), dengan rata-rata erosi dalam kurun 18 tahun yaitu 0,66 meter.
Tentu, proses pelebaran atau penyempitan (sedimentasi) sungai ini akan menjadi masalah besar, jika tak ditanggulangi segera. Luapan lumpur dari hulu ataupun dari sepanjang daratan yang dilalui sungai-sungai kecil ataupun saluran air tambak menambah kecendrungan untuk sedimentasi, yang berakibat pula pada pendangkalan sungai. Apa konsekuensi jangka panjang dari fenomena alam cum sosial ini? Mungkin saja bencana banjir menanti, kegagalan panen para pembudidaya ikan/udang akibat tersapu banjir tinggal menunggu waktu. Jika lebih panjang lagi, kapal-kapal akan terpengaruh aktivitas lalu lalangnya, lantaran bakalan tersangkut lumpur jika air tidak dalam kondisi air pasang. Hal ini tentu akan berpengaruh drastis bagi kegiatan masyarakat untuk mendulang pendapatan dari sektor perikanan maupun kelautan.

Lebih mencengangkan lagi jika kita melihat data perubahan tutupan lahan mangrove-nya. Diperoleh data tutupan vegetasi mangrove dari 2002 yang masih sebesar 551,1 hektar dan pada 2018 berkurang hampir separuhnya yaitu tinggal 280,51 hektar. Lahan mangrove yang berkurang sebesar 270,59 hektar atau 37,2%. Hal berbeda yang ditunjukkan dengan pertambahan luas area tambak, pada 2002 masih sebesar 887,71 hektar, pada 2018 sudah sebesar 1235,41 hektar. Terdapat penambahan lahan tambak sebesar 347,7 hektar atau 47,8%.
Indra pun membuat matriks perubahan lahan, dimana perubahan vegetasi mangrove ke tambak dari 2002-2018 sebesar 353,79 hektar, meski terdapat pula lahan tambak yang berubah jadi lahan mangrove sebesar 72,19 hektar, lahan terbuka (mungkin sawah) yang menjadi mangrove sebesar 4,35 hektar, serta pesisir sungai yang menjadi mangrove sebesar 4,9 hektar.
Perubahan terbesar akibat sedimentasi pada 2013-2018, khususnya di Bontoa pada transek no. 136 pada sisi kiri sungai, yaitu sebesar 43,79 meter. Menurut analisa citra satelit yang dibuat oleh Indra, ditemukan bahwa pada titik tersebut terdapat pertambahan luasan mangrove ke badan sungai sebesar 4,9 hektar (mangrove ditanam oleh masyarakat setempat untuk penangkal abrasi), serta terdapat perluasan tambak hingga ke badan sungai sebesar 20,33 hektar. Sehingga dapat diasumsikan, perluasan tambak turut mempengaruhi laju sedimentasi sungai Sangkarak.
Mengamati laporan/skripsi Indra Adi Putra Salam ini, kita disuguhkan data yang ngeri-ngeri sedap. Perubahan lahan mangrove hanya dalam rentang 16 tahun, hampir seperdua lahan mangrove terganti menjadi tambak. Ini juga menunjukkan bahwa tidak efektifnya tata kelola lahan di Kabupaten Maros, yang seakan-akan membiarkan aksi penebangan mangrove yang berlangsung terus menerus, jika dari data ini dari 2002 hingga 2018. Padahal, kita belum lihat data 2019-2020, dan kita juga belum lihat data sepanjang tahun 90-an.
Melihat angka-angka di atas, saya kira, sudah saatnya Pemda Maros – Pangkep, mulai melakukan pembenahan secara sistematis pada DAS Sangkarak. Melihat nilai penting ekosistem mangrove sebagai rumah bagi hewan-hewan, tempat bertelur dan hidupnya hewan-hewan air, serta fungsi filter/penyaring limbah, serta produksi oksigennya. Pemda Maros harus menghentikan kegiatan segala bentuk perusakan mangrove untuk dialihkan menjadi tambak. Jika perlu, menindak keras pelaku-pelaku yang masih ngeyel untuk mengganti mangrove menjadi tambak. Pemerintah pun mesti serius mengurusi tambak-tambak tradisional masyarakat, yang sudah terlanjur dibuka itu, untuk didampingi agar lebih produktif, sehingga petambak tidak berfikir lagi menambah lahan dengan menebang mangrove.
Buat kawan-kawan pecinta Mangrove, kita sudah kecolongan besar dalam 16 tahun terakhir di Kab. Maros. Jangan biarkan hal-hal seperti ini terus berulang. Jika kita tak ingin melihat anak cucu kita menderita demi kesenangan kita, yang singkat semata.
Penulis : Idham Malik