News  

Wamendikdasmen Tekankan Pentingnya Gerakan Kolektif Cegah Anak Rentan Putus Sekolah

Walai.id, Tangerang Selatan – Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, menegaskan pentingnya memperjuangkan keadilan akses pendidikan melalui gerakan kolektif pencegahan anak rentan putus sekolah.

Hal ini disampaikan saat ia membuka Workshop Fasilitasi Daerah Pendukung Program Revitalisasi Sekolah yang digelar Direktorat SMA Kemendikdasmen di Kota Tangerang Selatan, pada Kamis malam (20/11/2025).

Gerakan Anak Rentan Putus Sekolah (ARPS) merupakan upaya identifikasi dini, pendampingan, serta penguatan motivasi kepada siswa yang menunjukkan tanda-tanda kerentanan putus sekolah. Lokakarya tersebut dihadiri Kepala Bidang SMA dari Provinsi Jambi, NTB, dan Maluku Utara, penanggung jawab ARPS tingkat provinsi, kepala SMA pelaksana gerakan, serta fasilitator dan tim teknis Direktorat SMA.

Dalam sambutannya, Wamen Fajar menekankan bahwa ARPS lahir dari kepedulian moral kolektif, bukan instruksi programatik pemerintah pusat. “Keadilan akses pendidikan itu tidak diberikan, tetapi diperjuangkan. Perjuangan itu dilakukan oleh kita semua,” ujarnya. Ia mengapresiasi sekolah dan pemerintah daerah yang telah bergerak lebih dahulu tanpa menunggu mandat formal.

Berdasarkan data Susenas 2024, tingkat partisipasi sekolah pada kelompok usia 16–18 tahun masih menjadi yang terendah dibanding jenjang lain. Lebih dari 20 persen lulusan SMP tidak melanjutkan pendidikan, dan per November 2025 tercatat 453.605 siswa putus sekolah pada jenjang SMA/SMK.

Baca Juga :  Indonesia Matangkan Persiapan sebagai Partner Country di INNOPROM 2026

Sejak 2021, Direktorat SMA menginisiasi Gerakan ARPS yang kini telah berjalan di delapan provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Aceh, NTB, Maluku Utara, dan Bali. Direktur SMA Winner Jihad Akbar menyampaikan bahwa lebih dari 900 sekolah telah berpartisipasi. Sebanyak 8.491 siswa teridentifikasi sebagai anak rentan putus sekolah dan 76 persen di antaranya berhasil tetap melanjutkan pendidikan melalui pendampingan intensif.

Menanggapi kondisi tersebut, Wamen Fajar menjelaskan bahwa faktor penyebab kerentanan putus sekolah tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi juga psikologis, kondisi keluarga, lingkungan sosial, serta rendahnya motivasi belajar. Ia menyoroti pengaruh budaya digital yang serba cepat, membuat remaja rentan memiliki pola pikir instan dan berkurangnya etos belajar.

Ia menegaskan pentingnya deteksi dini oleh sekolah terhadap perubahan perilaku siswa, seperti meningkatnya absensi, turunnya capaian akademik, hingga perilaku indisipliner. Sekolah juga harus menguatkan peran konseling dasar untuk memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan siswa.

Baca Juga :  Kemenperin Percepat Transformasi Industri 4.0 untuk Perkuat Daya Saing Nasional

“Banyak anak menghadapi kelelahan mental. Karena itu semua guru harus punya keterampilan konseling dasar,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa sekolah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menerima semua anak tanpa diskriminasi, termasuk melalui jalur afirmasi bagi siswa dari keluarga miskin ekstrem.

Menurutnya, keberagaman latar belakang siswa justru menjadi peluang bagi sekolah untuk membangun karakter inklusif dan menciptakan lingkungan belajar yang aman. Ia mengingatkan bahwa angka putus sekolah yang tidak tertangani akan membawa beban ekonomi dan sosial besar dalam satu hingga dua dekade mendatang.

“Jika angka putus sekolah dibiarkan, beban ekonomi dan sosial ke depan akan sangat besar. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa,” ujarnya.

Wamen Fajar mengajak seluruh pihak untuk memperkuat dan memperluas Gerakan ARPS. “Kami tidak bisa bekerja sendiri. Pendidikan adalah urusan bersama. Pusat, daerah, sekolah, dan masyarakat harus bergerak bersama,” katanya. Ia berharap gerakan yang telah berjalan di delapan provinsi menjadi contoh bagi daerah lain agar tidak ada anak yang kehilangan haknya atas pendidikan bermutu.