News  

Pak Rusli Menyuarakan Harapan Masyarakat Adat Bonto Manurung

Walai.id, Surabaya – Pagi itu, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dipenuhi hiruk-pikuk kegiatan. Di antara keramaian mahasiswa, seorang lelaki tegap dengan sarung hijau, baju batik, dan peci hitam tampak melangkah canggung menuju lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), pada Kamis, 12/9/2024.

Dia adalah Pak Rusli, seorang masyarakat adat dari Desa Bonto Manurung, Kabupaten Maros, yang terbiasa dengan ketenangan alam pegunungan. Namun, di tengah keramaian ini, dia datang dengan satu tujuan: menyuarakan keresahan masyarakat adat terhadap lingkungan yang semakin tak bersahabat.

Pak Rusli menjadi salah satu pembicara dalam acara talk show bertajuk “Masyarakat Adat di Tengah Krisis Lingkungan: Tantangan, Adaptasi, dan Harapan.”

Acara ini merupakan kolaborasi antara Kemitraan dan FISIP UINSA, menghadirkan beberapa narasumber termasuk Prof. Dr. Sri Warjiyati, M.H, pakar hukum adat dari UINSA, dan Melya Findi Astuti, Communication Officer dari Kemitraan.

Pak Rusli, satu-satunya perwakilan masyarakat adat, diundang secara khusus untuk menyampaikan pandangannya.

“Saya sangat berterima kasih bisa hadir di tengah-tengah bapak-ibu sekalian,” ucap Pak Rusli dengan senyum canggung saat memulai pembicaraannya.

Di hadapan mahasiswa yang mendengarkan dengan penuh perhatian, Pak Rusli menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya pelestarian lingkungan.

Baca Juga :  BI Tegaskan Uang Rp 10.000 Tahun Emisi 2005 Masih Berlaku

“Lingkungan tempat kami hidup bukanlah sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Itu adalah kehidupan kami. Kami melihatnya sebagai sesuatu yang harus dijaga, bukan dieksploitasi,” tegasnya.

Ucapannya membuat para mahasiswa terhenyak, menyadari betapa berbeda pandangan masyarakat adat dalam menjaga lingkungan dibandingkan dengan industri modern yang cenderung mengejar keuntungan.

Meskipun Pak Rusli bukan seorang ahli lingkungan dengan gelar akademik, pesan yang ia sampaikan sangat relevan. Baginya, solusi krisis lingkungan tidak hanya terletak pada kebijakan atau teknologi canggih, melainkan juga pada upaya menjaga nilai-nilai gotong royong dan menghormati alam.

“Saya berharap mahasiswa di sini bisa memahami cara kami memandang lingkungan. Kami percaya bahwa kita harus hidup dengan rasa cukup dan menjaga alam dengan penuh rasa hormat,” ungkap Pak Rusli dengan tatapan yang tulus.

Pak Rusli, yang mengenakan pakaian adat sederhana, tampak menyatu dengan para mahasiswa yang juga mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah. Hal ini sedikit banyak meningkatkan kepercayaan dirinya. Namun, di balik senyumnya, ada sedikit rasa cemas.

“Saya khawatir penampilan saya tidak pantas di sini, hanya memakai apa yang saya punya,” ungkapnya rendah hati. Namun, sambutan hangat dan antusiasme mahasiswa membuat kecemasannya hilang.

Baca Juga :  Mendag Zulkifli Hasan Tegaskan Komitmen Dukung Ekspor Kopi Indonesia di Acara Nespresso

Kehadirannya di acara talk show ini menjadi momentum penting bagi Pak Rusli. Di tengah keraguannya, ia menemukan inspirasi baru dari semangat para mahasiswa yang peduli terhadap isu-isu masyarakat adat dan lingkungan.

“Saya merasa lebih percaya diri sekarang. Saya akan kembali ke desa dengan semangat baru,” ujar Pak Rusli dengan penuh syukur setelah acara berakhir.

Krisis lingkungan yang dihadapi masyarakat adat bukan sekadar tentang kerusakan alam atau perubahan iklim, melainkan juga tentang suara mereka yang sering kali diabaikan.

Bagi Pak Rusli, partisipasinya dalam diskusi ini bukan hanya kesempatan untuk berbicara, melainkan juga perjuangan mempertahankan nilai-nilai hidup yang telah diwariskan turun-temurun oleh komunitasnya. Nilai-nilai sederhana yang mungkin menjadi kunci utama di tengah ketidakpastian krisis lingkungan yang semakin memburuk.

Selepas acara, Pak Rusli kembali ke Desa Bonto Manurung, membawa harapan bahwa suara masyarakat adat harus terus didengarkan. Ia pulang dengan keyakinan baru bahwa kolaborasi dengan generasi muda dan berbagai pihak perlu terus diperkuat.

Lingkungan bukan hanya milik satu kelompok, tetapi milik semua makhluk hidup yang saling bergantung. Dalam semangat gotong royong dan kesetaraan inilah, Pak Rusli menemukan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

“Kami berharap dapat menjaga alam dengan kebersamaan, tanpa memandang perbedaan. Di situlah kami menemukan harapan,” tutup Pak Rusli dengan senyum penuh optimisme.