Oleh: DR. H. Andi Jamaro Dulung (AJD)
Ketua PBNU (2000-2010).
Sebagai seseorang yang telah memimpin Gerakan Pemuda Ansor selama lima tahun (1995-2000) dan Nahdlatul Ulama (NU) selama sepuluh tahun (2000-2010), saya memiliki perspektif yang mendalam tentang proses kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari kepengurusan PKB pada awal terbentuknya, status saya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat itu membatasi keterlibatan lebih jauh. Pada Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB di Yogyakarta tahun 2002, saya bahkan sempat menjadi calon Ketua Umum, dengan perolehan suara tertinggi ketiga setelah Prof. Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf.
Pada 22 Juni 1998, PBNU mengeluarkan Surat Tugas Nomor: 925/A.II.3/6/1998 yang ditandatangani oleh KH. Sahal Mahfud, KH. Fahri Toha, KH. Abdurrahman Wahid, dan H. Muhyiddin Arubusman. Surat tersebut mengatur pembentukan PKB melalui pembentukan Tim Lima dan Tim Sembilan. Namun, surat ini tidak mengatur kewenangan NU atau Tim 5/9 setelah terbentuknya PKB.
Sebulan kemudian, tepatnya pada 23 Juli 1998, PKB dideklarasikan di kediaman KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur. Deklarasi ini dilakukan di luar PBNU untuk menjaga agar NU tetap bebas dari politik praktis dan memberikan ruang bagi PKB untuk bergerak sebagai partai politik.
Setelah PKB dideklarasikan, NU telah melaksanakan lima kali Muktamar (Kediri, Donohudan, Makassar, Jombang, dan Lampung). Tidak ada satu pun dari Muktamar tersebut yang secara khusus mengatur hubungan antara NU dan PKB. Bahkan, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan Peraturan Organisasi (PO) NU yang terbit pasca Muktamar Lampung 2022 pun tidak mengatur hal tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah: apa dasar hukum atau legal standing bagi PBNU untuk mengatur, membenahi, atau bahkan mengintervensi PKB?
Hubungan antara NU dan PKB sejatinya lebih bersifat ideologis dan historis, bukan struktural. Kedua entitas ini saling terkait karena PKB lahir dari rahim NU. Hubungan ideologis dan historis inilah yang seharusnya menjadi panduan dalam interaksi antara NU dan PKB, dengan masing-masing entitas memiliki peran yang saling menguntungkan.
A. Peran PKB terhadap NU:
- Aspirasi NU di DPR dan DPRD: PKB memiliki tanggung jawab untuk menyalurkan aspirasi NU dalam proses pembentukan Undang-Undang (UU) dan Peraturan Daerah (Perda) di DPR dan DPRD.
- Perjuangan Kader NU: PKB harus memperjuangkan kader-kader NU agar dapat menduduki posisi penting di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
- Distribusi Program Pemerintah: PKB bertugas untuk mendistribusikan dan mengarahkan program-program pemerintah serta lembaga donor agar dikelola oleh NU dan perangkatnya.
- FGD Berkala: Penting untuk menetapkan jadwal Focus Group Discussion (FGD) secara berkala antara NU dan PKB di setiap level untuk membahas isu-isu strategis.
B. Peran NU terhadap PKB:
- Mendukung Kemenangan Politik PKB: NU harus membantu PKB dalam memenangkan perjuangan politik di setiap level, mulai dari desa hingga nasional.
- Kontribusi Pemikiran: NU perlu memberikan kontribusi pemikiran dalam pra-penyusunan RUU dan R-PERDA yang akan diajukan oleh PKB.
- Sosialisasi Program Strategis PKB: NU bertanggung jawab untuk mensosialisasikan program strategis PKB kepada konstituen NU dan masyarakat luas.
Hubungan ini, meskipun tidak tertuang dalam aturan formal, harus dipahami dan dijalankan dengan kesadaran bahwa kedua entitas ini memiliki peran yang saling melengkapi dalam memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa.