Walai.id, Jakarta – Bisnis narkoba tampaknya semakin marak – bahkan ada yang menyebutnya negeri ini sudah mengalami darurat narkoba. Temuan paling akhir yang mengejutkan adalah informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) yang melaporkan adanya aliran dana bisnis narkoba yang mencapai Rp120 triliun.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menyebut transaksi narkoba yang besarnya sangat fantastis itu melibatkan 1.339 orang dan korporasi.
“Kami periksa dan kami catat sebagai aliran transaksi keuangan mencurigakan yang datang dari tindak pidana narkoba,” ujar Ketua PPATK Dian Ediana Rae saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada Rabu 29 September 2021 lalu.
Dian mengungkapkan, uang tersebut adalah dari hasil perhitungan kumulatif selama kurun waktu 2016-2020. Ia menjelaskan gambaran transaksi narkoba serupa seperti kegiatan ekspor dan impor. Alhasil, transaksinya sangat dinamis. Termasuk cara mengelabuhi petugas dalam pengiriman dana hasil transaksi narkoba ini.
Menurut Kepala PPATK disebutkan beberapa contoh transaksi yang diduga dari bisnis narkoba tersebut. Ada yang Rp1,7 triliun, ada yang Rp3,6 triliun, Rp6,7 triliun, dan Rp12 triliun. Sehingga jika ditotal mencapai sekitar Rp120 triliun.
“Ini sangat mengkhawatirkan. Perlu ada solusi pemecahan bersama untuk bagaimana mengatasi semakin berkembangnya kegiatan terkait narkoba,” kata Dian.
Lebih jauh, Dian menjelaskan bahwa angka transaksi narkoba yang mencapai Rp120 triliun itu, merupakan hasil perhitungan yang konservatif. “Bisa dianggap termasuk kecil,” kata Dian seperti dikutip dari siaran di channel Youtube resmi PPATK Kamis (7/10/2021) lalu.
Selama kurun waktu 2016-2021, PPATK sudah menyusun 2.327 informasi, 2.607 Laporan Hasil Analisis (LHA), dan 240 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terindikasi berbagai tindak pidana. Keseluruhan Informasi, LHA, dan LHP tersebut telah disampaikan kepada aparat penegak hukum, kementerian/lembaga terkait, termasuk lembaga intelijen keuangan negara lain.
Transaksi jual-beli narkoba tersebut, kata Dian lagi, tak hanya terjadi di dalam negeri, tapi juga melibatkan sindikat yang ada di luar negeri.
“Kami melihat ada jaringan global. Ada transaksi yang masuk ke Indonesia dari negara-negara tertentu dengan jumlah signifikan. Prinsip dasar PPATK adalah follow the money,” katanya.
Tindak Lanjut Temuan PPATK
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno H Siregar mengatakan segera menindaklanjuti hasil temuan PPATK terkait rekening jumbo milik sindikat narkoba.
Menurut Brigjen Krisno, Polri dan PPATK sepakat untuk meningkatkan kerjasama dalam pemberantasan peredaran narkoba melalui optimalisasi penyidikan terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU), ujarnya di Kantor Bareskrim Polri di Jakarta Selatan (4 Oktober 2021).
Langkah nyata kerjasama antara dua lembaga ini, katanya lagi, antara lain adalah melakukan penyidikan TPPU dari peredaran gelap obat-obatan keras ilegal di dua tempat kejadian perkara yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) juga tak kalah sigap dalam menyikapi temuan PPATK ini. Kabarnya, dalam waktu dekat pimpinan BNN akan menyambangi Kantor PPATK untuk mencari tahu yang lebih detil. Temuan ini, kata Kepala Humas BNN Brigjen Pol Sulistyo Pudjo, tidak bisa didiamkan saja, harus ditindaklanjuti. “”Akan kami lakukan upaya penindakan sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” kata Brigjen Sulistyo.
Sejauh ini PPATK juga telah menggunakan wewenangnya dalam menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana. Dalam banyak situasi, penghentian sementara ini efektif dalam mengamankan proceed of crime dari upaya pemindahan dana oleh pelaku tindak pidana, dan juga memudahkan penyidik dalam mengungkapkan kasus seperti kejahatan lintas negara.
Dalam kesempatan RDP dengan Komisi III DPR RI, PPATK juga meminta dukungan anggota dewan di Komisi III untuk mendorong percepatan penyelesaian RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PPUTK) dan RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) sebagai prioritas dalam prolegnasi 2022 mendatang.
Dengan kehadiran payung hukum kedua RUU PPUTK dan RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menekan potensi kerugian negara karena permasalahan ekonomi bayangan (shadow economy) yang membebani perekonomian nasional.
Besaran aktivitas shadow economy diperkirakan pada kisaran 8,3% hingga 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data yang dikeluarkan oleh BPS, PDB Indonesia pada triwulan II Tahun 2021 mencapai Rp4.175 triliun lebih. Jika data ini digunakan sebagai acuan, maka perkiraan konservatif dari shadow economy Indonesia mencapai Rp417,5 triliun.
Besarnya nilai transaksi shadow economy ini jelas mengganggu perekonomian Indonesia yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di bawah potensi riil. Dengan RUU Perampasan Aset maka ekonomi bayangan yang bersifat sistemik dapat diberangus melalui perampasan aset dengan pendekatan non conviction based atau yang lebih berfokus pada pembuktian aset dari pada pembuktian kesalahan pelaku kejahatan.
Sementara melalui RUU PPUTK – maka ada pembatasan terhadap transaksi uang tunai. Hal ini lantaran masih tingginya transaksi yang menggunakan uang tunai untuk tindak kejahatan pencucian uang dan pendanaan kegiatan ilegal seperti transaksi narkoba atau pendanaan terorisme. Dengan pembatasan uang kartal alias tunai maka tindak kejahatan ekonomi seperti narkoba, korupsi maupun pendanaan terorisme dapat dicegah lebih dini dan sekaligus mempersempit ruang gerak pelaku. (*)