News  

Ironi Negeri Bansos, Kemiskinan Makin Meningkat

“Lebih baik memberi kail pancing daripada segenggam roti jika ingin negara kuat dan mandiri.”

Miris mendengar pernyataan Ketua PPATK: bantuan sosial ternyata lebih banyak dinikmati kelas menengah, bahkan sampai pejabat negara. Ironi. Satu Data yang selalu digembar-gemborkan pemerintah sejak era Jokowi ternyata tidak dijalankan dengan komitmen tegas, dari level menteri hingga petugas kabupaten.

Begitu banyak hak orang miskin dirampas oleh mereka yang bermental miskin. Korupsi di negeri ini sudah akut dari kepala hingga ujung kuku ikut menikmati. Semangat pemberantasan korupsi kini seperti obat yang tak lagi mempan, layaknya kanker kronis yang telah menyebar ke seluruh tubuh negara.

Hukum di negeri ini seakan tak lagi bergigi untuk memberantas korupsi. Kita perlu cara baru, metodologi hukum yang benar-benar memberi efek jera. Kita bisa belajar dari Tiongkok, bagaimana hukuman mati mampu menekan korupsi hingga ke level sangat rendah.

Lalu, kenapa kita takut? Kenapa sulit menerapkannya? Karena hukum dibuat di DPR dan dikendalikan partai-partai yang juga berada di kursi kekuasaan eksekutif tempat mereka ikut menikmati kue kekuasaan. Bagaimana mungkin mereka menyiapkan jerat untuk diri sendiri?

Apakah revolusi menjadi jalan terakhir? Negeri ini seolah harus dibangun ulang, tiangnya dirobohkan, pondasinya diperkuat kembali. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran nasional yang sayangnya terasa mustahil. Namun, cara untuk membasmi korupsi tetap harus kita pikirkan.

Baca Juga :  Revitalisasi Kaderisasi: Mengembalikan Marwah Gerakan, Menyemai Kader yang Militan dan Berkemajuan

Tikus-tikus ini, baik yang hidup di comberan maupun di istana, sama saja. Mereka memberi efek kerusakan yang parah bagi bangsa. Korupsi bukan lagi sekadar kejahatan, tapi sudah menjadi ancaman kedaulatan negara.

Kita lihat sendiri, para maling ini begitu mudah mengatur negeri, membuat regulasi dan undang-undang untuk melanggengkan kekuasaan dan oligarki mereka. Merusak sistem demokrasi dan hukum, merampas beras dari piring rakyat, menguras dompet kita, bahkan dengan enteng mengambil recehan dari saku celana kita.

Dari pejabat hingga mahasiswa, dari kaum elit hingga buruh, korupsi telah merusak setiap sendi bangsa. Jangan heran jika UU Perampasan Aset mustahil disahkan. Jangan heran jika hukuman mati bagi koruptor hanya menjadi isapan jempol.

Negeri ini menganut demokrasi. Semua bencana ini bermula dari transaksi politik antara calon legislatif, kepala daerah, hingga presiden dengan para konstituennya. Seratus ribu rupiah yang merampas kesejahteraan kita selama lima tahun. Seratus ribu yang membuat kita harus berobat mahal, membuat anak-anak kita menganggur, membuat harga sembako melambung, membuat anak-anak kita putus sekolah. Semua demi 100 ribu yang kita tukar dengan masa depan bangsa.

Program bansos yang sejatinya bertujuan menjaga ekonomi rakyat, mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan, dan melindungi rakyat dari kelaparan, ternyata justru menggerus moral dan identitas bangsa. Mereka yang miskin menjadi semakin malas, kelas menengah ikut malas hingga akhirnya jatuh miskin. Suapan-suapan pemerintah membuat mereka berpikir tak perlu bekerja keras. Mental kita tak lagi sekuat nenek moyang yang menaklukkan ombak dan badai—mental hari ini adalah pengemis belas kasih negara.

Baca Juga :  Perempuan Sudah Merdeka?

Hal ini dibuktikan dengan temuan Bank Dunia, bahwa tingkat penduduk miskin Indonesia melonjak sangat besar, berada di angka lebih dari 60%, dan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Jangan bandingkan dengan data BPS yang ngawur, karena standar mereka untuk “miskin” hanya Rp20.000 per hari yang artinya cukup untuk makan 1–2 kali sehari.

Fakta ini membuktikan, program bansos yang dijalankan pemerintah hanya membuat rakyat semakin malas, sekaligus menegaskan perlunya pendekatan baru untuk mengentaskan kemiskinan dan memperbaiki mental miskin bangsa ini.
Sesungguhnya rakyat butuh kail, bukan segenggam roti.

Rakyat butuh lapangan pekerjaan, butuh akses pasar yang mudah untuk hasil kerja mereka, butuh regulasi yang melindungi hasil pertanian dan perikanan, butuh akses pupuk dan sarana pendukung lainnya yang tidak dimonopoli segelintir orang.

Kita adalah bangsa pekerja dan petarung yang kini dininabobokan oleh program bansos, sementara lemahnya regulasi perlindungan memaksa hasil kerja keras rakyat dijual murah kepada tengkulak dan menjerat mereka dalam sistem lintah darat.

Abudhar
Maros, 12/8/2027.