Perubahan iklim semakin nyata di depan mata. Fenomena ekstrem, seperti kebakaran hebat di California, hujan salju yang tak terduga di Mekkah, serta banjir dan longsor yang melanda berbagai belahan dunia, menunjukkan bahwa bumi sedang berada dalam krisis besar. Semua ini adalah dampak dari eksploitasi alam yang berlebihan dan tidak terkendali.
Kerusakan lingkungan ini berakar pada kerakusan manusia. Hutan-hutan yang menjadi paru-paru dunia ditebangi tanpa perhitungan, laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan ditimbun demi proyek reklamasi, gunung-gunung digali hingga tak bersisa, dan kawasan resapan air dialih fungsikan menjadi gedung-gedung pencakar langit. Semua ini memicu efek domino yang mengerikan: rusaknya lapisan ozon, meningkatnya efek rumah kaca, dan hilangnya kemampuan bumi untuk menampung air hujan.
Korporasi-korporasi besar sering kali menjadi pelaku utama dalam perusakan ini. Mereka menambang, menebang, dan mengeksploitasi tanpa menjalankan tanggung jawab untuk memulihkan ekosistem yang rusak. Komitmen untuk menanam kembali pohon atau merelokasi kawasan yang rusak sering kali hanya menjadi janji kosong. Lahan yang dikeruk dibiarkan terbengkalai, meninggalkan jejak kehancuran yang tak terpulihkan.
Gunung-gunung dan karst yang dulunya menjadi tempat resapan air kini habis terkikis. Akibatnya, air hujan yang turun tidak lagi meresap ke dalam tanah, tetapi langsung mengalir ke daerah rendah, menyebabkan banjir besar yang membawa material hutan, sampah, dan tanah. Sungai-sungai menjadi dangkal, sementara bencana banjir semakin parah dari tahun ke tahun.
Pesisir-pesisir pun tidak lagi aman. Hutan mangrove yang seharusnya menjadi benteng alami dari terjangan ombak kini musnah, tergantikan tambak atau proyek reklamasi. Ketika badai datang, ombak besar menghantam daratan tanpa penghalang, menyebabkan erosi parah dan kerusakan ekosistem pesisir.
Sementara itu, gunung-gunung es dan es abadi di kutub perlahan mencair dan menguap akibat meningkatnya suhu bumi. Air yang dilepaskan dari es mencair mengalir ke lautan, menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Kota-kota pesisir mulai tenggelam, dan daratan semakin rendah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan oleh industri dan gedung-gedung tinggi.
Angin yang dahulu membawa kesejukan kini berubah menjadi badai yang mematikan. Topan membawa debu, api, dan kehancuran, membakar hutan-hutan yang mengering akibat perubahan pola hujan dan suhu yang semakin panas. Hujan yang seharusnya menjadi berkah bagi kehidupan kini menjadi langka, menciptakan kekeringan di banyak wilayah.
Namun, di tengah kehancuran ini, kita masih memiliki peluang untuk bertindak. Krisis iklim ini adalah peringatan bagi seluruh umat manusia untuk berhenti merusak bumi dan mulai merawatnya. Perubahan tidak akan terjadi jika kita hanya berdiam diri. Kebijakan yang berkelanjutan, aksi nyata untuk melindungi alam, dan komitmen untuk mengurangi emisi karbon adalah langkah awal untuk menyelamatkan bumi kita.
Pertanyaannya adalah, sampai kapan manusia akan terus menutup mata terhadap dampak kehancuran yang mereka ciptakan? Bumi adalah satu-satunya rumah kita, dan jika kita tidak berubah, kita mungkin kehilangan rumah itu selamanya. Sekarang adalah waktu untuk bertindak, sebelum segalanya terlambat.
Abudhar, Kamis, 23 Januari 2025.