Walai.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (4/5/2023), dengan agenda Perbaikan.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 32/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa, S.H., M.H yang berprofesi sebagai Advokat. Norma yang diajukan Pemohon untuk diuji adalah Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (2).
Pemohon menilai adanya multitafsir pada frasa “gangguan lainnya”. Hal ini dapat berdampak kerugian konstitusional yang dapat terjadi apabila diberlakukannya norma Pasal a quo.
Bermula dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 757/Pdt.G/2022/PN, pada amar ke 5 (lima) menghukum tergugat (KPU RI) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Sementara amar ke 6 (enam) menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta.
Adanya Putusan PN 757/2022 tersebut berdampak pada tidak sahnya segala tindakan KPU terhadap pelaksanaan pemilu sampai adanya putusan yang menganulir/membatalkan Putusan dimaksud dan telah berkekuatan hukum tetap.
Adapun potensi persoalan yang dapat terjadi yang akan menjadi dasar untuk dilakukannya pemilu susulan dan/atau pemilu lanjutan akibat dari ketentuan norma a quo yakni: pemilu tetap diselenggarakan pasca Putusan PN 757/2022 hingga dianulir/dibatalkannya putusan tersebut dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi (banding atau kasasi), kemudian KPU dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak melaksanakan putusan dimaksud.
Sehingga peristiwa tersebut tentunya akan menimbulkan alasan untuk masuk pada pemaknaan “Gangguan Lainnya” pada ketentuan norma a quo. Tidak terdapatnya penjelasan yang dimaksud “Gangguan Lainnya” menjadi suatu frasa yang dapat ditafsirkan oleh pihak yang berkeinginan untuk dilakukannya Pemilu Susulan dan/atau Pemilu Lanjutan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan Pemohon (6/4), MK memberikan nasihat kepada Pemohon untuk mengelaborasi alasan permohonan yang dinilai belum terlihat keterkaitan terutama mengenai keberadaan frasa ‘gangguan lainnya’.
MK menilai undang-undang tidak dapat mengunci penafsiran secara rinci, karena bisa saja terdapat keadaan seperti Pandemi Covid-19.