Walai.id, Makassar – Pengusaha mudah, penyalur minyak nabati, Jumadi asal Maros, saat ditemu Jumat 10/6 di Maros, belak belakan mengungkap, penyebab kelangkaan minyak goreng curah (MGC) selama ini tejadi di wilayah Sulawesi Selatan, hal itu disebab oleh mekanisme distribusi yang belum terbentuk secara merata ke daerah, akibatnya daerah tersebut tak punya kuota MGC.
Hingga saat ini, masih banyak pengusaha minyak goreng, tak ingin mengikuti mekanisme izin di daerahnya, hal ini membuat distribusinya terhambat, akibatnya Harga Eceren Tertinggi tak dapat dikendalikan pihak Satgas dan Pemerintah.
Disamping itu mekanisme peraturan MGC selalu saja berubah ubah jadi faktor utama. Pertama masalah eksport yang dilakukan oleh pihak terkait, membuat kebutuhan dalam negeri tidak tercukupi. Kedua, penghentian MGC subsidi untuk industri pada petengahan April lalu, dan kini terakhir 31 Mei pencabutan Subsidi pemerintah.
Pasca pencabutan itu, sejak 1 Juni l, Hingga sekarang memasuki Minggu kedua Juni. Penetapan perubahan aturan itu belum diketuk pemerintah pusat, karena terkait dengan menyalurkan 20 persen hasil produksi MGC pihak produsen kebutuhan dalam negri, baru bisa melakukan Ekspore.
Sementara itu jaringan distribusi MGC lewat aplikasi SIMIRAH mulai terkses ke masyarakat khsusnya ditingkat D2 dan Pengecer. “Masyarakat baru tahu aturan di ubah lagi, nah proses perubahan aturan inilah, juga jadi penghambat distribusi minyak dan paling tidak dengan setiap penetapan baru, butuh waktu 30 hari, proses distribusinya dapat kembali normalnya MGC itu” kata Jum.
Jadi melihat keadaan ini, harga MGC pasang surut di pasar. “Saat ini, minyak harga perlahan turun di pasar, Tapi yang terjadi kembali langkah, masalahnya, menunggu penetapan harga terbaru, sejak pemerintah memutuskan mencabut subsidi Minyak Goreng Curah per 31 Mei lalu, hingga sekarang aturan belum ditetapkan,” ungkap Jum.
Indokator turunnya harga minyak goreng ini, karena sejumlah perusahaan pemerintah seperti Bulog, Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan Rajawali, mulai terlibat. Selama ini distribusi MGC dikendalikan oleh pengusaha swasta yang berperang sebagai D1 dan D2 yang kemudian bermitra saat dengan produsen pemilik kilang di pelabuhan Makassar.
“Selama puluhan tahun, terjadi pembiaran membuat mekanisme pasar sulit dikendalikan oleh pemerintah, bahkan minyak goreng bersubsidi sebelumnya justru lebih banyak dinikmati pengusaha industri kemasan daripada MGC subsidi itu lansung kepada masyarakat” jelas Jum mengetahui hal itu.
Sebagai pemasok minyak goreng Jum, berharap Bulog dan perusahan pelat merah lainya harus lebih berperang aktif, “Yang kami lihat intens, di bulan Mei – Juni, yang mulai fokus jalan Bulog bersama PPI, yang membuka pesanan order (PO) selain dari perusahaan swasta lainya yang berperang sebagai Distributor 1 di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat” ungkap Jum.
Dia mencontohkan, harga curah di Makassar, saat ini masih dirata rata Rp17 ribu perliter ditingkat pedagang pengecer, Maros Rp16.ribu/ liter, terendah terkahir di Mei Pinrang 15.500/ liter. Bahkan ada daerah masih Rp20 ribu/perliter,
Harga pasar di Maros bisa lebih rendah dibanding daerah lain, karena kuota MGC tersalur di bulan Mei diatas 100 ton, Pinrang berkisar 200 ton. Jadi wajarlah harga MGC lebih rendah dibanding daerah lain.
“Nah kondisi saat ini, penyaluran MGC kembali staknan, belum ada D1 buka PO, lagi lagi karena aturan berubah, dalam proses penetapan regulasi baru, harga minyak pasti kembali langkah sangat rentang pedagang ditingkat pengecer kembali menaikkan harga pasar. Kemudian saat aturan baru berlaku utuh waktu dua bulan distribusi berjalan baru dapat kembali normal” Jelas Jum