News  

Perempuan Sudah Merdeka?

Oleh: Dr. Rafih Sri Wulandari S.IP.,M.Si

(akademisi/Ketua Yayasan Gemintang Suara Campernik)

“Perempuan punya daya ubah yang luar biasa, tapi sering terhenti oleh dinding yang tak kasatmata,”

Saya adalah perempuan yang tumbuh dan lahir di Jawa Barat. Sejak Zaman kuliah saya aktif di berbagai organisasi, saya pernah menjadi Ketua Cabang  Bandung Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang membentuk dasar idealisme, aktif di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang menajamkan kepedulian terhadap isu lingkungan, menjadi praktisi pemilu dankerap diminta menjadi pengamat kebijakan publik serta pandangan politik dalam berbagai kegiatan diskusi ditingkat lokal atau nasional. Bagi saya, perempuan tidak hanya harus hadir dalam ruang demokrasi, tetapi juga memiliki posisi strategis untuk mempengaruhi arah kebijakan.

Membangun Yayasan Gemintang Suara Campernikadalah panggilan hati. Yayasan ini saya dedikasikan untuk penguatan peran perempuan, terutama di Jawa Barat, agar mampu menjadi aktor penting dalam menjaga warisan budaya, memperjuangkan hak-hak politik, dan membangun tatanan sosial yang lebih adil. saya percaya, kemerdekaan sosial perempuan belum sepenuhnya tercapai selama masih ada ketimpangan peran yang dilegitimasi oleh tradisi patriarki.

“Perempuan Jawa Barat bukan hanya penjaga budaya, tapi juga pembaharu,” “Mereka harus merdeka secara sosial, bebas berpartisipasi di ruang publik, dan berani menjadi pengambil keputusan.”

Delapan puluh tahun lalu, kemerdekaan diproklamasikan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Namun, pertanyaan yang masih menggantung adalah apakah perempuan Indonesia benar-benar sudah merdeka?. Di Jawa Barat, para pejuang perempuan seperti Emma Poeradiredja pendiri organisasi Istri Sedar ikut mengibarkan semangat perlawanan walau nama beliau tidak seterkenal Kartini di narasi nasional, tapi di Jawa Barat beliau adalah simbol perempuan yang memadukan perjuangan emansipasi dengan nasionalisme. berjuang bukan hanya mengangkat senjata, tetapi juga menggerakkan logistik, menyembunyikan pejuang, dan mengobarkan api perjuangan di hati rakyat.

Namun, delapan dekade setelah kemerdekaan, pertanyaan yang patut kita renungkan di peringatan kemerdekaan kali ini adalah: apakah perempuan Indonesia, khususnya di Jawa Barat, benar-benar sudah merdeka? Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas menentukan jalan hidup, bebas dari diskriminasi, dan bebas dari kekerasan. Banyak kemajuan telah diraih, tetapi tantangan yang tersisa tak boleh diabaikan.ada empat hal yang menjadi perhatian yaitu:

Baca Juga :  Bendera Jolly Roger (One Piece): Simbol Perlawanan Terhadap Tirani dan Oligarki

EkonomiTumbuh, tetapi Belum Setara

Perempuan menjadi motor penting ekonomi nasional. Data Kemenkop UKM menunjukkan 60 persen pelaku UMKM adalah perempuan. Dari Jawa Barat, Meski demikian, kesenjangan pendapatan masih nyata. BPS mencatat, perempuan rata-rata berpenghasilan 20–30 persen lebih rendah dibanding laki-laki di pekerjaan yang setara. Beban ganda bekerja dan mengurus rumah tanggamasih menjadi “harga” yang harus dibayar tanpa dukungan kebijakan memadai.

Sosial dan BudayaRuang Terbuka, Stigma Mengikat

Secara formal, perempuan memang sudah memiliki kesetaraan hak bisa berpendidikan tinggi, bekerja di berbagai sektor, dan berpartisipasi dalam politik. Namun, secara kultural dan sosial, budaya patriarki masih kuat membentuk norma, perilaku, dan cara pandang masyarakat.

Pendidikan dan teknologi memberi ruang lebih luas bagi perempuan untuk bersuara. Namun, stigma sosial, kekerasan berbasis gender, dan stereotip yang membatasi pilihan hidup masih menjadi tembok besar. Budaya patriarki yang mengakar sering kali membuat suara perempuan tidak terdengar sebagaimana mestinya.

PolitikKeterwakilan Naik, Tantangan Berlapis

Kuota 30 persen caleg perempuan memberi ruang lebih luas di politik. Sebut saja Ineu Purwadewi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, menjadi salah satu figur perempuan Jawa Barat yang aktif di panggung politik Jawa Barat bisa disebut sebagai spirit visualiasi Affirmative action  yang pernah menjadi Ketua DPRD perempuan dan jabatan stategis lainnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen di daftar calon legislatif. Di tingkat daerah, Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pengarusutamaan Gender menjadi payung hukum yang mempertegas arah kebijakan pemberdayaan perempuan.Namun, keterwakilan belum otomatis berarti kualitas. Banyak perempuan politisi masih menghadapi hambatan struktural di partai, dari minimnya dukungan finansial hingga akses jaringan strategis.Regulasi pun menjadi landasan penting

Baca Juga :  Ironi Negeri Bansos, Kemiskinan Makin Meningkat

Budaya Lokal: Penjaga Warisan dan Inovator

Jawa Barat, tanah yang kaya akan ragam budaya dan tradisi luhur, sesungguhnya memiliki fondasi kuat dalam membangun masyarakat berkarakter dan beradab. Namun, menjaga warisan budaya dan membangun budi pekerti tidak dapat dilepaskan dari peran aktif perempuan.

Perempuan Jawa Barat bukan hanya pewaris tradisi, tetapi juga penafsir nilaimereka yang mengajarkan bahasa halus dalam tutur kata, menghidupkan kembali seni tari dan musik daerah, serta menanamkan etika sosial yang membentuk karakter generasi muda. Di desa maupun kota, peran perempuan seringkali menjadi tali pengikat antara masa lalu yang penuh kearifan dengan masa depan yang penuh tantangan.

Namun, jalan untuk mengokohkan peran ini tidak selalu mulus. Budaya patriarki yang masih mengakar kerap membatasi ruang gerak perempuan, menganggap peran mereka sekadar pelengkap, bukan penggerak utama. Tantangan lain datang dari modernisasi yang menggeser nilai-nilai tradisional, di mana generasi muda semakin jauh dari akar budayanya. Dalam situasi ini, perempuan harus berjuang ganda: mempertahankan identitas budaya sekaligus membuktikan kapasitasnya dalam ruang publik.

Membangun kesadaran bahwa peran perempuan bukan sekadar simbol pelestarian, tetapi motor penggerak kebudayaan, adalah langkah penting. Untuk itu, penguatan kapasitas, dukungan regulasi, dan panggung yang setara menjadi kunci agar perempuan Jawa Barat dapat menjadi garda terdepan dalam merawat budaya dan membentuk budi pekerti bangsa

Merdeka untuk Semua

Kemerdekaan perempuan adalah kemerdekaan bangsa. Tidak ada kemajuan berarti jika separuh populasi tertinggal. Menghapus kesenjangan bukanlah hadiah, tetapi mandat konstitusi.  Di momen 80 tahun kemerdekaan ini, mari terjemahkan kemerdekaan menjadi kebijakan nyata akses pendidikan dan kesehatan setara, perlindungan dari segala bentuk kekerasan, dan ruang setara untuk memimpin di setiap lini kehidupan