News  

Demokrasi Akademik Tak Boleh Jadi Tameng Kekuasaan

Oleh: Asri Tadda(Inisiator Solidaritas Alumni Peduli Unhas/SAPU)

Demokrasi akademik kerap dielu-elukan sebagai fondasi utama tata kelola perguruan tinggi. Dalam konteks suksesi Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas), istilah ini kembali dikedepankan untuk menekankan pentingnya menjaga stabilitas, etika, dan kehormatan institusi.

Namun, persoalan muncul ketika demokrasi akademik tidak lagi dipahami sebagai ruang keterbukaan, melainkan direduksi menjadi jargon normatif untuk meredam kritik. Pada titik ini, demokrasi akademik justru berisiko kehilangan makna substantifnya.

Logika dasar demokrasi—termasuk demokrasi akademik—bertumpu pada satu prinsip kunci, yaitu hak untuk mempertanyakan kekuasaan.

Tanpa kritik, demokrasi hanya menjadi prosedur formal yang kering. Maka, ketika kritik terhadap proses pemilihan rektor dianggap mengganggu demokrasi akademik, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah pembalikan logika.

Demokrasi tidak rusak oleh kritik. Demokrasi justru runtuh ketika kritik dipersepsikan sebagai ancaman.

Politik Perlindungan Elite?

Salah satu kekeliruan utama dalam narasi “menjaga demokrasi akademik” adalah kecenderungan menyatukan kritik terhadap mekanisme dengan tuduhan serangan terhadap individu. Ini adalah bentuk penyederhanaan yang menyesatkan.

Baca Juga :  Menang Munas HA IPB 2025, Fauzi Amro–Anggawira Siap Bawa Alumni “Naik Kelas”

Mengkritik prosedur bukanlah delegitimasi figur. Dalam tata kelola modern, justru figur yang kuat adalah mereka yang berani membiarkan prosesnya diuji secara terbuka.

Ketika pembelaan beralih dari menjelaskan proses menjadi melindungi reputasi, maka demokrasi akademik telah digeser menjadi politik perlindungan elite. Ini justru sedikit memalukan jika tak mau disebut kekanak-kanakan.

Universitas Hasanuddin bukanlah entitas privat yang bebas dari akuntabilitas eksternal. Sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH), setiap proses strategisnya memiliki dimensi publik.

Oleh karena itu, wajar jika masyarakat, sivitas akademika, dan publik luas mempertanyakan transparansi dan keadilan dalam proses suksesi kepemimpinan.

Menyebut kritik publik sebagai gangguan demokrasi akademik justru mengingkari status kampus itu sendiri sebagai institusi publik. Demokrasi akademik tidak hidup di ruang tertutup, tetapi tumbuh di ruang dialog yang terbuka dan berisiko.

Waspadai Bahaya Retorika

Ketika istilah demokrasi akademik dipakai untuk membungkam perbedaan pendapat dan aneka diskursus yang menyertainya, maka ia telah berubah fungsi dari sebuah nilai menjadi sekadar alat.

Retorika ini berbahaya karena menciptakan ilusi seolah-olah semua sudah berjalan ideal, sementara pertanyaan dianggap sebagai sikap tidak etis atau tidak dewasa secara akademik.

Baca Juga :  Sinergi Kementrans–Kemenkop, Viva Yoga: Kehadiran Koperasi di Kawasan Transmigrasi

Dalam sejarah universitas, kemunduran intelektual hampir selalu diawali oleh sikap anti-kritik yang dibungkus dengan dalih moral dan demi stabilitas institusi.

Demokrasi akademik yang matang tidak panik menghadapi kritik. Ia tidak alergi terhadap pertanyaan, apalagi perbedaan pandangan. Sebaliknya, ia percaya bahwa proses yang adil akan bertahan dari pengujian paling keras sekalipun.

Jika suatu proses tidak sanggup dijelaskan secara jernih kepada publik, persoalannya bukan pada kritiknya, melainkan pada proses itu sendiri.

Demokrasi Akademik Sebenarnya

Menjaga demokrasi akademik bukan berarti mensterilkan kampus dari kritik, melainkan memastikan bahwa kekuasaan akademik dijalankan secara transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Demokrasi akademik bukanlah soal keseragaman sikap, tetapi keberanian menghadapi perbedaan yang ada.

Jika demokrasi akademik terus dijadikan tameng untuk menolak kritik, maka yang sedang dijaga bukanlah nilai, melainkan kekuasaan.

Dan ketika kekuasaan akademik tidak mau diuji, di situlah legitimasi moral universitas mulai dipertaruhkan. Dan sebagai alumni, kita tentu tidak mau itu terjadi di Unhas tercinta! (*)