“Tidak ada yang lebih kejam daripada yang mengabadikan kekuasaan di balik payung hukum dan atas nama keadilan. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, maka kekuasaan (rakyat) harus menjadi penghalang bagi kekuasaan.”
— Montesquieu
Kronologi amarah masyarakat yang memuncak pada 29–30 September ditandai dengan peristiwa wakil rakyat kita yang seakan mengolok-olok komentar masyarakat terkait besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Awalnya, protes hanya bergema di akun-akun media sosial. Namun, kemudian berkembang menjadi alasan berlangsungnya demonstrasi pada 25 Agustus 2025. Seluruh elemen masyarakat diajak berkumpul hingga malam tiba. Para wakil rakyat yang dinanti-nantikan kehadirannya tidak kunjung datang, sehingga semakin menandai bahwa mereka tidak mengindahkan tuntutan konstituennya. Aksi itu berakhir dengan bentrok antara pendemo dan aparat kepolisian.
Pada 28 Agustus 2025, serikat buruh menggelar unjuk rasa dengan tuntutan berbeda. Setelah itu, massa terus berdatangan mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga puncaknya ketika kendaraan taktis Brigade Mobil (Brimob) melindas seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan.
Tanggal 29–30 Agustus 2025, aksi demonstrasi merebak di berbagai kota besar. Gelombang itu sulit dibendung, berujung pada pembakaran sejumlah fasilitas umum serta penjarahan di rumah beberapa wakil rakyat, antara lain Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio.
Berbagai rentetan peristiwa itu berawal dari perkataan yang merendahkan masyarakat, hingga joget pada saat penetapan kenaikan tunjangan DPR, serta lambannya pembahasan RUU. Ditambah lagi pernyataan politisi muda yang menilai demonstrasi tidak pantas dilakukan dan sebaiknya diganti dengan dialog—sikap yang jelas-jelas tidak menghargai upaya masyarakat menyampaikan aspirasi.
Suara-suara kecil yang tidak pernah diresapi, ditelisik, maupun didengar wakil rakyat, membuat masyarakat kecewa. Akibatnya, lahirlah ketidaktaatan atau pembangkangan sipil, yang secara etis wajar dipahami dengan mempertimbangkan motivasi di balik tindakannya.
Sayangnya, pembangkangan sipil itu justru dijadikan landasan tudingan bahwa aksi ditunggangi pihak asing, mengandung ancaman terorisme, bahkan makar. Narasi semacam ini hanya membuktikan kurangnya tanggung jawab pemerintah dalam membenahi isu pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Alih-alih menanggapi tuntutan substansial, para pejabat justru melempar pernyataan melenceng dari tanggung jawab.
Narasi tentang demonstrasi yang ditunggangi kekuatan asing, disertai opini bahwa Riza Chalid adalah donatur dan Martinus Hukom terlibat, hanyalah pernyataan tidak solutif di tengah kekecewaan massa terhadap DPR.
Pernyataan- pernyataan seperti itu selalu dilontarkan untuk membungkam kritik masyarakat, seakan-akan negara abai dan tidak bertanggung jawab atas dampak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Padahal, dalam alam demokrasi, kritik masyarakat adalah bagian dari upaya membangun bangsa yang lebih maju dan tertata.
Menurut saya, seharusnya pemerintah secara kolektif melihat gejolak ini sebagai aspirasi positif untuk berbenah demi bangsa yang kita cintai. Ketidakpercayaan publik terhadap wakil rakyat berpotensi melemahkan legitimasi pemerintah, menyulitkan dukungan politik, serta menimbulkan konflik sosial dan protes berkepanjangan. Karena itu, wakil rakyat harus berbenah dan merenungkan kesalahan yang telah dilakukan.
Introspeksi harus dilakukan oleh Wakil Rakyat.
Kekuasaan legislatif yang diamanahkan rakyat kepada parlemen seharusnya dijalankan maksimal, agar mampu membentuk tata kelola pemerintahan yang adil. Namun aspirasi masyarakat sering kali gagal diterjemahkan menjadi kebijakan yang baik, karena lemahnya wawasan, nalar kritis, dan empati para wakil rakyat. Kondisi ini memberi dampak buruk bagi DPR.
Momentum ini semestinya menjadi tuntutan bagi DPR untuk melakukan perubahan organik demi kemajuan lembaga legislatif, sekaligus memperbaiki kontribusinya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. DPR juga harus mampu menciptakan mekanisme agar demonstran diterima langsung oleh wakil rakyat, sehingga aspirasi dan gagasan dapat disampaikan secara terbuka.
Ke depan, DPR harus serius menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, penyusunan undang-undang, serta representasi politik dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Lemahnya fungsi pengawasan legislatif akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
Bagi Montesquieu, lembaga legislatif wajib mewakili kehendak rakyat sebagai penjamin stabilitas dan hukum yang rasional.
Mereka yang menyatakan bahwa aksi ini ditunggangi, benar: ditunggangi oleh ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Jika aksi ini disebut didanai, memang benar: didanai oleh kebijakan kenaikan tunjangan DPR yang menyiksa rakyat. – Harbiyanto (Wasekjend PB HMI)