Walai.id, Maros – Di ruang yang dipenuhi debu dan diterangi cahaya yang menerobos dari jendela, seorang lelaki bertubuh ringkih namun karismatik melangkah menuju podium. Di Aula Kantor Kecamatan Tompobulu, para peserta Musyawarah Tudang Sipulung (Appalili) untuk Musim Tanam Tahun 2024-2025 menantikan ucapannya dengan penuh perhatian. Setelah meraih mikrofon, ia berbicara dengan tegas, memperkenalkan diri sebagai Pinati yang berpegang teguh pada tradisi pertanian Maros dan Bone.
“…Nakke anne pinati, anjo tommi kupinawang, nasaba’ anjo Marusu na Bone anjoengmi poko’na pertanianga, jari tanggala rua pulo pi nassulu jannang marusu (Saya adalah seorang Pinati, saya mengikuti apa yang sudah lama menjadi prinsip pertanian Maros dan Bone, bahwa pada tanggal 20 November, kita semua turun menanam),” kata Muntu’ Daeng Sila, seorang Pinati dari Desa Tompobulu. Ucapannya memenuhi ruang, membawa pesan kuat tentang pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Kehadiran Daeng Sila hari itu cukup istimewa, berbeda dari biasanya. Musyawarah tudang sipulung kali ini tak hanya menjadi arena dialog antarpeserta, tetapi juga menjadi momen bagi para penyuluh untuk mencatat dan memperhatikan perkiraan musim tanam dari seorang tokoh lokal. Kepala Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Tompobulu, Pak Muhlis, mencatat dengan takzim di mejanya, seolah mendapat informasi berharga yang tak ingin ia lewatkan.
Keterlibatan Daeng Sila merupakan upaya awal BPP Kecamatan Tompobulu untuk menggabungkan pengetahuan lokal dengan pendekatan ilmiah dalam prakiraan musim tanam. Dalam diskusi lanjutan dengan Pak Muhlis di kantor BPP (01/11/2024), ia menjelaskan bahwa keputusan untuk melibatkan Pinati dalam acara tudang sipulung didorong oleh kondisi iklim yang semakin sulit diprediksi. “Sekarang ini, bahkan prediksi ilmiah pun kadang meleset. Dengan perubahan lingkungan yang tak terduga, kami merasa penting melibatkan Pinati seperti Daeng Sila, yang memiliki kedekatan dengan alam dan diyakini mampu membaca tanda-tanda alam,” ujarnya.
Menghidupkan Pengetahuan Lokal dalam Pertanian Modern
Pengetahuan lokal sering kali dianggap kurang ilmiah karena tidak memiliki dasar metodologis yang dapat diukur. Namun, nilai keberlanjutan yang dimiliki oleh masyarakat adat, seperti yang dibawa oleh Pinati, memberikan pandangan baru dalam memahami musim tanam. Saran Daeng Sila untuk memulai penanaman pada tanggal 20 November 2024 ternyata sejalan dengan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengenai stabilnya curah hujan pada waktu yang sama. Keselarasan ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal dapat memberikan dukungan pada pendekatan ilmiah dalam merumuskan keputusan pertanian.
Dalam artikelnya, Social Theory and the De/Reconstruction of Agricultural Science: Local Knowledge for an Alternative Agriculture, Jack Kloppenburg menyoroti bahwa salah satu kekuatan pengetahuan lokal adalah fleksibilitas dan keterikatannya dengan konteks spesifik, berbeda dengan pendekatan ilmiah yang lebih reduksionis. Kedekatan Pinati dengan kondisi lingkungan setempat telah diuji selama bertahun-tahun, menciptakan perspektif holistik untuk memahami pola alam yang kompleks.
Kolaborasi antara Pengetahuan Ilmiah dan Pengetahuan Lokal
Pak Muhlis melihat kesempatan besar dalam kolaborasi antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal yang telah hidup lama di Kecamatan Tompobulu. Namun, ia menyadari bahwa proses kolaborasi ini tidaklah mudah. Di Desa Bonto Manurung, misalnya, tradisi adat yang dipimpin oleh Pinati sering kali menyebabkan penundaan musim tanam. Beberapa petani mengalami kesulitan untuk memanen dua kali dalam setahun karena harus menunggu ritual adat selesai. Oleh karena itu, Pak Muhlis bersama penyuluh pertanian mempertimbangkan pembentukan forum komunikasi antara BPP dan komunitas Pinati untuk mengkoordinasikan proses musyawarah secara lebih efektif.
Gagasan ini sejalan dengan model “petani-kembali-ke-petani” yang dianjurkan oleh Robert Rhoades dan R Booth dalam artikel mereka, Farmer-Back-to-Farmer: A Model for Generating Acceptable Agriculture Technology. Mereka mengusulkan agar penelitian atau prediksi pertanian harus dimulai dan berakhir di tangan petani. Kolaborasi antara pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah perlu dijalankan dengan umpan balik berkelanjutan untuk menghasilkan solusi yang lebih adaptif dan relevan dengan kebutuhan lokal.
Pembelajaran dari Sistem Ketahanan Pangan Adat
Pak Muhlis juga mendapatkan inspirasi dari ketahanan pangan yang dimiliki masyarakat adat. Sebagai penyuluh yang telah 12 tahun berinteraksi dengan desa-desa adat, ia melihat bahwa ketahanan pangan masyarakat adat mengandung prinsip keberlanjutan yang sulit dijangkau oleh pola pikir modern. Masyarakat adat, seperti Suku Baduy di Banten dan Suku Kajang di Sulawesi Selatan, memiliki cadangan pangan jangka panjang dengan tradisi menyimpan gabah sebagai persediaan untuk masa depan.
Desa-desa seperti Bonto Somba dan Bonto Manurung menerapkan prinsip serupa. Mereka hanya menjual gabah ketika benar-benar membutuhkan, berbeda dengan desa yang sudah terseret arus modernisasi yang cenderung menjual hasil panen segera setelah panen. Bagi Pak Muhlis, sistem ketahanan pangan lokal ini adalah contoh nyata dari keberlanjutan yang sejati.
Masa Depan Kolaborasi Pertanian: Membentuk Forum Pinati di Kecamatan Tompobulu
Pak Muhlis memiliki visi untuk masa depan kolaborasi pertanian di Kecamatan Tompobulu melalui pembentukan Forum Pinati, yang berfungsi sebagai ruang dialog antara pemimpin adat, peneliti, petani, dan penyuluh. Forum ini diharapkan menjadi jembatan yang mempertemukan teknologi pertanian modern dengan pengetahuan lokal. “Dengan forum ini, kami bisa belajar dari mereka, dan mereka juga bisa belajar dari teknologi yang kami tawarkan,” ungkap Pak Muhlis penuh optimisme.
Lori Ann Thrupp dalam artikelnya Legitimizing Local Knowledge: From Displacement to Empowerment for Third World People menekankan bahwa pembangunan pertanian yang adil dan berkelanjutan harus melibatkan partisipasi langsung spesialis lokal. Melalui forum ini, teknologi pertanian dapat diterapkan tanpa mengesampingkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Pak Muhlis yakin bahwa koneksi antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal adalah proses dialog yang menantang namun dapat saling melengkapi. “Bagi saya, pengetahuan lokal adalah sesuatu yang sangat berharga. Kita harus menjaga dan melestarikannya, sementara perkembangan zaman juga harus tetap diselaraskan. Kita bukan hanya memanen padi, tapi juga menanam untuk melestarikan pengetahuan lokal bagi generasi mendatang,” tutupnya dengan penuh keyakinan.