Walai.id, Jakarta – Di tengah proses penanganan darurat dan pemulihan bencana, Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkum) melakukan langkah cepat untuk mengidentifikasi faktor penyebab kerusakan lingkungan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang diduga memperburuk dampak banjir dan longsor di hilir.
Analisis awal, yang diperkuat verifikasi lapangan, menunjukkan adanya indikasi kerusakan tutupan hutan pada hulu DAS Batang Toru dan DAS Sibuluan di wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Kerusakan pada lereng dan hulu DAS tersebut diduga menurunkan kemampuan tanah menyerap air sehingga curah hujan ekstrem lebih cepat berubah menjadi aliran permukaan yang kuat dan memicu banjir serta longsor. Temuan material kayu yang terbawa arus memperkuat dugaan adanya aktivitas pembukaan lahan dan penebangan yang tidak sesuai ketentuan.
“Kami melihat pola yang jelas: di mana ada kerusakan hutan di hulu akibat aktivitas ilegal, di situ potensi bencana di hilir meningkat drastis. Aktivitas di PHAT yang seharusnya legal terindikasi disalahgunakan menjadi kedok pembalakan liar yang merambah kawasan hutan negara di sekitarnya. Ini kejahatan luar biasa yang mengorbankan keselamatan rakyat,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, Jakarta, 06/12/2025.
Sebagai respons cepat, Ditjen Gakkum membentuk tim gabungan untuk melakukan pengumpulan data dan keterangan terkait dugaan kerusakan lingkungan. Identifikasi awal menemukan 12 subjek hukum, baik korporasi maupun perorangan, yang diduga memiliki keterkaitan dengan gangguan tutupan hutan di wilayah hulu. Kondisi medan berat, cuaca ekstrem, dan akses logistik yang terbatas menjadi tantangan lapangan, namun tim tetap melakukan verifikasi secara simultan.
Sejak 4 Desember 2025, tim memasang papan larangan di lima lokasi terindikasi pelanggaran, yang meliputi dua titik pada area konsesi PT TPL dan tiga titik pada lokasi Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) atas nama JAM, AR, dan DP. Tim PPNS Balai Gakkum Sumatera juga tengah melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana kehutanan oleh pemilik PHAT atas nama JAM, setelah ditemukan empat truk bermuatan kayu tanpa dokumen sah.
Untuk kasus tersebut, PPNS menerapkan Pasal 83 ayat (1) huruf b jo. Pasal 12 huruf e UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana maksimal lima tahun penjara dan denda hingga Rp 2,5 miliar. Pemanggilan terhadap seluruh 12 subjek hukum dijadwalkan berlangsung pada 9 Desember 2025 untuk pendalaman lebih lanjut.
“Tim telah melakukan penyegelan pada lokasi terindikasi aktivitas ilegal. Ini bagian dari upaya komprehensif: verifikasi fakta, pengamanan lokasi, dan penyiapan bukti untuk proses hukum yang adil dan transparan. Kami juga berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan adanya upaya restorasi hulu DAS dan perlindungan bagi komunitas terdampak,” ujar Dwi Januanto.
Selain penindakan pidana kehutanan, Ditjen Gakkum mengkaji kemungkinan penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menelusuri dan menyita aset yang diduga berasal dari kejahatan kehutanan. Gugatan perdata berdasarkan Pasal 72 jo. 76 UU Kehutanan juga disiapkan dalam rangka pemulihan fungsi ekosistem.
Kementerian Kehutanan juga menyiapkan langkah teknis pemulihan hulu DAS bersama Ditjen Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Program pemulihan ini meliputi rehabilitasi vegetasi, pengendalian erosi, dan penataan kembali alur sungai yang tersumbat material.
Kementerian menegaskan komitmennya bekerja secara profesional, transparan, dan terpadu bersama berbagai pemangku kepentingan guna mengungkap akar kerusakan hulu DAS dan memulihkan fungsi hidrologis. Penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan yang berkontribusi pada bencana dipastikan menjadi bagian dari upaya lebih luas dalam menjaga keselamatan publik dan ketahanan ekologis nasional.