News  

Refleksi Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda dan Indonesia Emas 2025
Oleh: Farkhan Evendi, Ketua Umum Bintang Muda Indonesia

Di tengah represi yang semakin menjadi-jadi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setelah kegagalan pemberontakan PKI 1926, kaum pemuda pergerakan dari berbagai suku, ideologi, dan golongan melakukan konsolidasi. Tepat pada 28 Oktober 1928, menggaunglah Sumpah Pemuda, suatu sumpah dengan semangat persatuan: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa — Indonesia.

Sebelumnya, di tengah kaum pergerakan yang sama-sama melawan kolonialisme, berlangsung suatu polarisasi yang luar biasa, khususnya polarisasi ideologi. Namun perpecahan itu justru membuat kolonialisme tetap mencengkeram.

Tahun 1926, Soekarno menulis “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang terbit di koran Suluh Indonesia Moeda, yang intinya adalah suatu seruan persatuan untuk mencapai “Sinar jang Satoe”. Hanya dengan persatuanlah sinar itu kian dekat. Dan dua tahun setelahnya, sinar yang didambakan kaum pergerakan seperti mendekat, yakni menggaungnya Sumpah Pemuda. Tujuh belas tahun setelahnya, yakni 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Kini, Sumpah Pemuda itu sudah 97 tahun lamanya. Apa yang masih bisa diambil darinya?


Kenyataan Kita

Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah janji besar: kemerdekaan yang adil dan makmur, masyarakat tanpa penindasan, bangsa yang berdiri sejajar dengan dunia. Tapi hingga saat ini, kemiskinan masih merajalela: 25,9 juta jiwa — atau 9,2% penduduk — hidup di bawah garis kemiskinan nasional (BPS, Maret 2025).

Di NTT, anak-anak menjual kerbau demi buku pelajaran. Ketimpangan menganga lebar: Gini ratio 0,388 (BPS 2024), dan 1% penduduk terkaya menggenggam 41,3% kekayaan nasional (Credit Suisse Global Wealth Report 2025). PDB per kapita kita mentok di US$4.783 (Bank Dunia 2024), terjebak dalam middle income trap sejak 1993. IMF meramalkan pertumbuhan 2025 hanya 5,1% — jauh dari 10–12% yang dibutuhkan Bappenas agar kita lolos jebakan sebelum 2045.

Baca Juga :  UGM dan Telkom Bangun Pusat AI Nasional, Pemerintah Siapkan Aturan Baru Teknologi Cerdas

Aset alam kita dikeruk tanpa ampun. Ekspor nikel mentah tahun 2024 mencapai 1,2 juta ton senilai US$28 miliar, tapi nilai tambah hilirisasi hanya 22% (Kemenperin). Kontrak Freeport — yang diperpanjang hingga 2041 — menyumbang US$2,5 miliar per tahun ke kas negara, tapi 70% keuntungan mengalir ke luar (ICW 2025).

Di Morowali, buruh tambang menghirup debu nikel demi upah harian, sementara polusi meracuni sungai dan sawah. Korupsi menjadi kanker yang menggerogoti: kerugian negara Rp50,2 triliun pada 2024 (KPK), dengan 1.248 kasus pada 2025 — 62% di antaranya di proyek infrastruktur.

Orde Baru mengulang model Hindia Belanda: negara pegawai, Pancasila jadi alat kekuasaan, rakyat dicurigai. Krisis 1998 menumbangkannya, tapi membawa liberalisasi yang memperlemah daya rekat kebangsaan. Kita kaya sumber daya, tapi miskin keadilan.


Dari Middle Income Trap Menuju Indonesia Emas 2025

Secara ekonomi, Indonesia masih terjebak dalam pola pertumbuhan lambat. IMF memproyeksikan hanya 5,1 persen untuk 2025, jauh dari angka 6–7 persen yang dibutuhkan Bappenas untuk lepas dari jebakan pendapatan menengah. Produktivitas tenaga kerja rendah, ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, dan rendahnya investasi di sektor teknologi menjadi biang keladi.

Demonstrasi sejak Agustus 2025 — yang sempat rusuh dan merusak fasilitas umum — menunjukkan keresahan rakyat terhadap ketimpangan: elit politik dan pengusaha besar kaya raya, sementara buruh dan petani tetap miskin. Polarisasi di media sosial memperparah situasi, dengan narasi adu domba yang sering kali didorong kepentingan asing.

Kita perlu mendorong hilirisasi total — bukan hanya nikel, tapi juga bauksit, tembaga, hingga hasil laut — agar nilai tambah tetap di dalam negeri. Dua digit growth hanya mungkin jika kita berani memotong rantai korupsi di proyek infrastruktur dan BUMN.

Prabowo juga menekankan transformasi digital dan pendidikan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics) sebagai kunci lompatan ekonomi. Dalam KTT ASEAN Oktober 2025, ia mengajak negara tetangga membentuk blok ekonomi regional yang kuat untuk melawan dominasi Tiongkok dan Barat di rantai pasok global.

Baca Juga :  Pemerintah Dorong Akselerasi Konektivitas Digital Lewat Teknologi FWA 5G 1,4 GHz

Di dalam negeri, ia mendorong kemandirian pangan melalui food estate modern dan industrialisasi pertanian. Namun, tanpa pembersihan korupsi yang tuntas, semua program itu berisiko bocor di tengah jalan.

Bonus demografi — dengan 70 juta pemuda usia produktif — bisa menjadi ledakan kemajuan atau bom waktu pengangguran jika tidak dikelola dengan baik. Seperti Soekarno menyerukan persatuan nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme tahun 1926, hari ini kita butuh persatuan lintas partai, lintas agama, lintas generasi untuk satu tujuan: Indonesia bebas korupsi dan mandiri ekonomi.


Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda

Refleksi 97 tahun Sumpah Pemuda ini bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan panggilan perang baru. Jika dulu pemuda bersatu melawan penjajah, kini mereka dipanggil untuk melawan musuh dalam selimut: korupsi, ketergantungan asing, dan pertumbuhan ekonomi yang medioker.

Presiden Prabowo telah meletakkan fondasi dengan semangat gotong royong dan komitmen antikorupsi. Namun, keberhasilan tergantung pada pemuda — apakah mereka mau jadi pelaku sejarah atau hanya penonton.

Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) yang masih di angka 56,33 persen adalah cermin: ada kemajuan, tapi masih jauh dari ideal.

Pemuda 2025 harus lebih radikal dari 1928: bukan hanya ikrar, tapi aksi nyata. Kita perlu menargetkan 2045 Indonesia Emas, di mana untuk itu kita harus bebas korupsi, bebas penjajahan ekonomi, dan tumbuh dua digit setiap tahun.

Itulah cara kita menghormati darah dan keringat pemuda 1928. Pada saat ini, Merah Putih berkibar di seluruh penjuru negeri memperingati Sumpah Pemuda. Tapi bendera itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak diikuti langkah konkret: bersihkan korupsi, hentikan eksploitasi asing, dan kejar pertumbuhan dua digit.

Sumpah Pemuda bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan baru. []