News  

Meluruskan Pemahaman Tentang Tradisi Bersyukur Lewat Media Perantara

Di tengah kehidupan masyarakat, masih banyak ditemukan tradisi bersyukur yang dilakukan dengan menggunakan media perantara, seperti benda pusaka, hewan, makanan, atau sesajen. Praktik ini sering kali dianggap sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas nikmat dan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua tradisi bersyukur tersebut sesuai dengan ajaran Islam, terutama jika mengandung unsur syirik.

Menghadapkan Diri ke Ka’bah: Bukan Bentuk Perantara

Sebagian orang mungkin salah memahami konsep menghadap Ka’bah saat salat sebagai bentuk penggunaan perantara antara manusia dan Allah SWT. Padahal, menghadap Ka’bah bukanlah menyembah Ka’bah atau menjadikannya perantara. Ka’bah hanya berfungsi sebagai kiblat (arah) salat yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai simbol persatuan umat Islam di seluruh dunia.

Allah SWT berfirman:
“Dan dari mana saja engkau (keluar), palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah); dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya…”
(QS. Al-Baqarah 2:144)

Menghadap Ka’bah merupakan bentuk ketaatan pada perintah Allah, bukan bentuk perantara dalam beribadah. Umat Islam tidak menyembah Ka’bah, tetapi menyembah Allah SWT secara langsung tanpa perantara apa pun.

Syukur dalam Perspektif Islam

Syukur dalam ajaran Islam merupakan ungkapan terima kasih kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan-Nya. Syukur diwujudkan dalam tiga bentuk utama:

  1. Syukur dengan Hati: Meyakini sepenuh hati bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT.
  2. Syukur dengan Lisan: Mengucapkan “Alhamdulillah” dan doa-doa syukur lainnya sebagai bentuk pengakuan.
  3. Syukur dengan Perbuatan: Melakukan amal saleh dan berbagi rezeki dengan sesama.
Baca Juga :  Menangani Stunting: Pentingnya Data Sebagai Fondasi Kebijakan

Syukur yang benar adalah syukur yang mengakui bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi nikmat tanpa menyandarkan keberkahan kepada benda atau makhluk lain. Jika rasa syukur diwujudkan dengan praktik yang mengandung unsur syirik, seperti memberikan sesajen atau menggunakan benda pusaka dengan keyakinan akan membawa keberkahan, maka itu bukanlah bentuk syukur yang sesuai dengan ajaran tauhid.

Tradisi Tidak Dapat Menghalalkan Syirik

Beberapa masyarakat membenarkan praktik penggunaan perantara dengan alasan tradisi leluhur atau budaya sebagai bentuk rasa syukur. Namun, Islam tidak membenarkan tradisi yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Allah SWT berfirman:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami (melakukannya).’ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?”
(QS. Al-Baqarah 2:170)

Rasulullah SAW juga memperingatkan:
“Barang siapa membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Mengapa Penggunaan Perantara Bertentangan dengan Tauhid?

Konsep tauhid mengajarkan bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah dan dimintai pertolongan tanpa melalui perantara apa pun. Ketika seseorang menggunakan benda pusaka, hewan, atau makanan sebagai media untuk berdoa atau meminta keberkahan, maka secara tidak langsung ia telah meyakini bahwa benda tersebut memiliki kekuatan gaib. Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan tauhid yang murni.

Baca Juga :  Menangani Stunting: Pentingnya Data Sebagai Fondasi Kebijakan

Allah SWT berfirman:
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan.”
(QS. Al-Fatihah 1:5)

Meluruskan Niat Bersyukur

Islam mengajarkan umatnya untuk bersyukur dengan cara-cara yang benar, yaitu:

  1. Memperbanyak Ibadah: Melakukan salat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan berzikir sebagai bentuk kedekatan dengan Allah.
  2. Berbagi Rezeki: Memberikan sedekah atau zakat kepada yang membutuhkan sebagai bentuk rasa syukur.
  3. Mengucapkan Pujian kepada Allah: Mengucapkan “Alhamdulillah” dengan tulus sebagai pengakuan atas nikmat-Nya.
  4. Menghindari Syirik: Menjauhkan diri dari praktik-praktik yang melibatkan benda pusaka atau sesajen dalam beribadah.

Kesimpulan

Menggunakan perantara dalam berdoa atau beribadah dengan alasan tradisi atau budaya bukanlah bentuk rasa syukur yang benar dalam Islam. Tradisi yang bertentangan dengan prinsip tauhid wajib ditinggalkan, meskipun berasal dari leluhur. Syukur yang benar adalah dengan meningkatkan ibadah dan amal saleh, serta mengakui bahwa segala nikmat berasal langsung dari Allah SWT tanpa melalui perantara apa pun.

Dengan meluruskan pemahaman ini, semoga kita semua dapat menjalankan syukur dan ibadah yang benar sesuai tuntunan Islam, sehingga terhindar dari praktik yang bertentangan dengan prinsip tauhid.

Abudhar, Maros, 17/3/2025.