Walai.id, Jakarta – Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Tirta Karma Senjaya, menegaskan komitmen lembaga tersebut dalam memperkuat perdagangan nikel melalui bursa berjangka di Indonesia.
Langkah strategis ini bertujuan untuk membentuk harga acuan nikel yang mencerminkan kondisi pasar domestik, mengingat saat ini harga nikel masih mengacu pada bursa luar negeri.
“Sebagai produsen dan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia perlu mengoptimalkan perdagangan nikel guna meningkatkan pendapatan negara,” ujar Tirta dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat (31/1/2025).
pIa menambahkan, salah satu instrumen untuk mencapai hal tersebut adalah melalui Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK), sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong hilirisasi, penguatan pasar domestik, peningkatan ekspor, serta pengembangan lebih banyak pelaku usaha.
Menurut Tirta, nikel memiliki potensi besar untuk dijadikan subjek kontrak berjangka di Bursa Berjangka Indonesia. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 1997 mengenai Perdagangan Berjangka Komoditi. “Awalnya, nikel banyak digunakan sebagai bahan baku baja tahan karat, namun dengan perkembangan teknologi, peranannya kini melebar, terutama dalam industri baterai kendaraan listrik. Dengan fluktuasi harga yang tinggi, nikel sangat ideal diperdagangkan di bursa berjangka,” jelasnya.
Data dari United States Geological Survey menunjukkan bahwa produksi nikel Indonesia mencapai 1,8 juta ton dari total 3,6 juta ton produksi dunia pada 2023. Produksi tersebut tersebar di beberapa wilayah, terutama di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Selain itu, data dari Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa Indonesia adalah eksportir nikel terbesar di dunia, dengan pasar utama ekspor meliputi Tiongkok, Jepang, Norwegia, Belanda, dan Korea Selatan.
Dosen Fakultas Pertambangan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Tenaga Ahli Bappebti, Veriyadi, mengungkapkan beberapa faktor pendukung kelayakan nikel sebagai subjek kontrak berjangka. Menurutnya, volume perdagangan yang besar, keragaman produk nikel seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), dan nikel matte, serta volatilitas harga yang tinggi, merupakan indikator kuat untuk masuknya nikel ke bursa berjangka.
Veriyadi juga mengingatkan bahwa penetapan harga nikel harus transparan, dapat diamati, dan mencerminkan kondisi fisik komoditas. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pembeli, penjual, pedagang, dan lembaga keuangan. Tantangan lainnya muncul dari potensi adanya harga premium akibat konsentrasi geografis dan pengaruh isu-isu geopolitik, ditambah pula dengan dinamika kebijakan politik nasional dan global serta situasi cadangan nikel yang masuk kategori ore shortage.
Dari sisi industri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyoroti kesenjangan harga antara harga patokan mineral (HPM) nikel yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 dengan harga internasional. Ia menyebutkan bahwa HPM untuk bijih nikel dengan kadar 1,8 persen tercatat sebesar USD 36 per metrik ton pada 2024, sementara harga internasional mencapai USD 63 per metrik ton. Kesenjangan ini mencapai USD 6,36 miliar sepanjang 2024, meskipun nilai ekspor produk turunan nikel seperti matte, MHP, NPI, cathode, dan Ni sulphate telah mencapai USD 20,28 miliar pada Januari–November 2024.
Meidy menambahkan, tantangan lain dalam perdagangan nikel global adalah penerapan kerangka lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Pada 2027, Uni Eropa akan mewajibkan setiap baterai yang masuk memiliki paspor baterai dengan parameter ESG, yang harus menjadi perhatian untuk memperluas ekspor nikel ke pasar global.
Saat ini, Indonesia telah memiliki 395 izin usaha penambangan (IUP) nikel, dengan 49 perusahaan pabrik olahan nikel untuk pirometalurgi, enam perusahaan untuk hidrometalurgi, dan 40 perusahaan dalam tahap pembangunan smelter nikel. Menurut Meidy, langkah untuk menjadikan nikel sebagai subjek kontrak berjangka di Bursa Berjangka Indonesia diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam ekosistem perdagangan nikel nasional.
Sekretaris Bappebti yang juga menjabat sebagai Plt. Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan PBK, Olvy Andrianita, menyatakan bahwa Bappebti tengah fokus memasukkan nikel ke dalam regulasi. Peraturan Bappebti (Perba) Nomor 10 Tahun 2024 tentang perubahan atas Perba Nomor 3 Tahun 2019 akan segera direvisi untuk mengakomodir nikel sebagai subjek kontrak berjangka. “Kami juga akan mereviu peraturan kontrak berjangka dan spesifikasi kontrak nikel yang diajukan oleh bursa berjangka. Targetnya, nikel akan masuk sebagai subjek kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa Indonesia pada tahun ini,” pungkas Olvy.