WALAI.ID, JAKARTA – Menjelang akhir tahun 2024, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam sektor manufaktur, tercermin dari posisi Purchasing Manager’s Index (PMI) yang masih berada dalam zona kontraksi pada bulan November, yakni 49,6, meski ada sedikit kenaikan dibandingkan bulan Oktober 2024 yang tercatat 49,2. Kontraksi ini sudah berlangsung selama lima bulan berturut-turut sejak Juli 2024.
Menurut rilis terbaru dari S&P Global, meskipun PMI Indonesia menunjukkan sedikit kenaikan, angka tersebut masih berada di bawah 50, yang berarti sektor manufaktur Indonesia masih tertekan.
Namun, kenaikan skor ini masih lebih baik dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Vietnam, yang mengalami penurunan PMI masing-masing sebesar 0,3 dan 0,4 poin. Kenaikan ini dianggap sebagai bukti resiliensi industri manufaktur Indonesia meskipun banyak tantangan.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan bahwa kondisi ini tidak mengejutkan mengingat masih banyaknya regulasi yang kurang mendukung sektor manufaktur di Indonesia.
“Survei PMI ini dilakukan pada perusahaan industri yang sudah beroperasi di Indonesia, bukan calon investor. Masih banyak regulasi yang belum mendukung industri dalam negeri, padahal regulasi tersebut sangat diperlukan untuk meningkatkan utilisasi produksi,” ujar Febri, Senin, 02/12/2024.
Salah satu faktor utama yang dinilai menghambat kinerja industri manufaktur Indonesia adalah besarnya tekanan dari produk impor, baik yang legal maupun ilegal.
Pasar domestik yang dibanjiri oleh produk impor, baik dengan harga murah maupun produk ilegal, telah menekan permintaan terhadap produk-produk dalam negeri. Hal ini semakin diperburuk dengan kebijakan relaksasi impor yang memungkinkan masuknya barang-barang jadi ke Indonesia.
Perbandingan instrumen kebijakan perdagangan (trade measures) antara Indonesia dan negara-negara lain menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan. Indonesia memiliki hanya 207 jenis instrumen trade measures untuk mengendalikan impor, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara seperti Tiongkok (1.569 jenis) dan Amerika Serikat (4.597 jenis).
Bahkan, di kawasan ASEAN, instrumen trade measures Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan Thailand (661 jenis), Filipina (562 jenis), dan Singapura (216 jenis).
Untuk itu, Kemenperin terus mendorong diberlakukannya instrumen pengamanan terhadap industri dalam negeri, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD), yang sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tujuannya adalah untuk melindungi industri domestik yang terancam akibat lonjakan produk impor yang masuk secara ilegal maupun legal.
Selain itu, Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence, menekankan pentingnya permintaan bagi sektor manufaktur ke depan.
“Permintaan adalah kunci untuk kinerja sektor manufaktur di masa depan. Tanpa adanya peningkatan penjualan yang signifikan, meskipun perusahaan optimis, kinerja sektor ini akan tetap tertekan,” ujarnya.
Febri Hendri Antoni Arief juga menegaskan bahwa untuk menjaga keberlanjutan sektor industri dalam negeri, permintaan dan penjualan harus terus dijaga dan didorong.
Dalam kondisi pasar yang masih lemah, sangat penting untuk memastikan bahwa industri Indonesia tetap dapat menjadi tuan rumah di pasar domestiknya. “Kurangi masuknya barang impor yang murah dan terus perangi barang ilegal,” tegasnya.