Walai.id, Jakarta – Bareskrim Polri telah menetapkan MS, mantan Direktur Utama PT Kresna Graha Investama Tbk (Kresna Group), sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Keputusan ini berdasarkan hasil gelar perkara yang telah dilakukan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.
“Setelah melakukan gelar perkara, penyidik menetapkan MS sebagai tersangka,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, dalam pernyataannya pada Kamis (14/9/2023).
MS diduga terlibat dalam TPPU bersama tiga tersangka lainnya yang sudah ditetapkan tersangka terlebih dahulu, yaitu OB, EH, dan MTN. Mereka diduga terlibat dalam penerbitan produk investasi menggunakan PT Pup dan PT MSL serta sekuritas PT KS, padahal ketiga perusahaan tersebut tidak memiliki izin di bidang manajemen investasi.
Selain itu, dana nasabah digunakan oleh para tersangka tanpa izin, menyebabkan sembilan investor mengalami kerugian sebesar Rp337,4 miliar.
Dalam penyidikan TPPU ini, penyidik akan melacak aset yang terkait dengan tindak pidana para tersangka dan akan menggunakannya sebagai barang bukti untuk mengganti kerugian para korban.
MS dijerat dengan Pasal 103 jo Pasal 30 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan/atau Pasal 372/378 KUHP serta Pasal 3, 4, 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Ancaman hukumannya mencapai maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Kasus TPPU yang melibatkan MS merupakan perkembangan dari kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang melibatkan tiga tersangka lainnya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2022.
Sebelumnya, Dittipideksus Bareskrim Polri menyelesaikan penyelidikan kasus dugaan penggelapan dana nasabah oleh PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life Insurance dan telah melimpahkan tahap II tersangka dan barang bukti kepada Kejaksaan Agung. Kasus ini telah melibatkan 278 korban dengan kerugian sekitar Rp431 miliar. M
odus operandi kasus ini adalah menginvestasikan premi dari produk asuransi yang melebihi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam saham atau efek terafiliasi, sambil tidak memberitahu pemegang polis tentang perkembangan investasi atau nilai aktiva bersih.