News  

Bahas Otsus dan Politik Keamanan Papua, CPCD & SDGs Center Unhas Hadirkan Peneliti LIPI dan Akademisi


Walai.id, Makassar – Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan mempersempit jurang kesenjangan daerah paling timur Indonesia ini. Salah satunya dengan kebijakan UU No 21/2001 tentang penerapan Otonomi Khusus (Otsus) yang kemudian direvisi kembali dengan UU No.2/2021. Kebijakan otonomi khusus selama ini menjadi sorotan berbagai kalangan pemerhati masyarakat Papua karena fokus implementasi lebih pada pendekatan alokasi anggaran namun melupakan pendekatan kebudayaan dalam membawa masyarakat Papua membangun dirinya sendiri. Hal ini diutarakan oleh Prof. Cahyo Pamungkas, PhD pada webinar Pusat Penelitian Konflik, Perdamaian dan Demokrasi (Center for Peace, Conflict & Democracy atau CPCD) dan SDGs Center Universitas Hasanuddin pada Jumat/22 Oktober 2021.

Diskusi bulanan CPCD ini dengan tajuk “Telisik Otonomi Khusus dan Politik Keamanan Papua” dan dimoderatori oleh Dr. Birkah Latif, MH, LLM, dosen Fakultas Hukum dan peneliti CPCD Universitas Hasanuddin.

Dalam membahas UU Otonomi Khusus Papua ini, CPCD mengundang Prof Cahyo dan Dr Yusak Reba. Prof Cahyu adalah peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional yang juga terlibat dalam penyusunan  Peta Jalan Damai Papua yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009. Dr Yusak dikenal sebagai dosen Fakultas Hukum, Universitas Cendrawasih dan juga staf ahli dalam penyusunan UU Otonomi Khusus Papua.  Selain kedua pembicara  tamu ini, peneliti CPCD, Andi Ahmad Yani,M.SI, MPA, M.Sc yang juga dosen Departemen Ilmu Administrasi Universitas Hasanuddin,juga menjadi narasumber dalam webinar Peace & Democracy Colloquium ini.

Dalam pemaparannya, Andi Yani menjelaskan bahwa salah satu strategi dalam mengurai masyarakat rawan konflik adalah dengan pendekatan rekayasa kelembagaan (institutional engineering).

Baca Juga :  BMKG: Gelombang 4 Meter Muncul di Perairan Indonesia

“Untuk melakukan rekayan kelembagaan, negara sebaiknya harus beradaptasi dengan kondisi yang dinamis dalam mengelola kelembagaan yang kompleks. Beberapa negara-negara yang berhasil mengelola konflik karena segmentasi kelompok etnis, agama atau bahasa dilalui dengan desain kelembagaan yang kompleks dan mengutamakan otonomi dengan menghormati identitas semua kelompok” jelasnya.

Menurut Yani, pemerintah sebaiknya tidak perlu ragu untuk melakukan rekayasa kelembagaan untuk memfasilitasi spirit kelokalan masyarakat Papua yang berbeda dengan kesejarahan dan latar sosial budaya lokal daerah lain.

Lebih lanjut Prof Cahyo dalam pemaparannya kembali mengingatkan peta jalan damai yang telah disusun LIPI pada dekade silam. Salah satu poin penting adalah sejarah dan status pengindonesiaan Papua yang masih menjadi narasi sensitif dan membutuhkan moderasi politik dan negoisasi. Prof Cahyo juga mengeritik pemerintah dengan upaya mempercepat pembangunan dimana proses pembangunan tidak semata dalam hal fisik tapi juga harus berdasarkan pendekatan kebudayaan. Prof Cahyo juga menyoroti UU No.21/2021 yang mereduksi wewenang MRP dalam pemekaran wilayah di Papua dan menguatkan wewenang pemerintah pusat. Hal ini mengindikasikan adanya agenda pemekaran wilayah yang top down ke depan yang bagi masyarakat Papua sebagai upaya memecah belah Papua dan menurunkan kepercayaan masyarakat Papua pada komitmen pemerintah untuk selalu mengedepankan hahak adat Papua. Proses pengangkatan anggota dewan perwakilan  provinsi dan kabupaten dan menafikan peran partai politik juga menjadi celah disintegrasi, khususnya pada wilayah didominasi oleh masyarakat pendatang. Prof Cahyo menyarankan supaya pemerintah Indonesia memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat Papua untuk menerjemahkan identitas budayanya sendiri dalam proses pembangunan identitas dirinya sebagai bagian Indonesia.

Dr. Yusak sebagai pembicara ketiga mengurai kelemahan UU Otonomi Khusus yang selama ini tidak memberikan kewenangan khusus dan lebih luas bagi pemerintah provinsi Papu dan Papua Barat. Sebagai contoh, pemerintah mengakui kelembagaan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan menuntut peran besar MRP dalam memantau pelaksaan otonomi khusus namun tidak mendapat kewenangan dalam perumusan kebijakan. Hal ini membuat MRP tidak mampu berbuat lebih banyak dalam menguatkan proses akuntabilitas karena lembaga lokal ini tidak termasukan dalam sistem formal kenegaraan dan sekedar bertindak sebagai symbol belaka.

Baca Juga :  OMC Tak Selalu Efektif, BMKG Serukan Patroli dan Edukasi Cegah Karhutla

Dr Yusak juga menyoroti UU Otonomi Khusus tidak secara jelas mengakui masyarakat adat dan hak-hak adat masyarakat Papu. Hal ini terlihat dalam pengelolaan hutan dimana pengusaha yang biasa bukan orang Papua Asli dan memiliki izin dari Kementrian Kehutanan memiliki kewenangan dalam mengeksplotasi sumberdaya Papua dibandingkan lembaga-lembaga adat Papua sendiri.

“Kami sangat berharap Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan kebijakan UU No.2/2021 akan lebih berpihak pada masyakat Papua dengan memberikan kewenangan lebih luas” jelasnya.

Pada bagian akhir diskusi, Prof Cahyo menekankan supaya Pemerintah sebaiknya lebih banyak melibatkan pendekatan kebudayaan dan mengirim lebih banyak guru, dokter, perawat, peneliti dan para pelayan publik ke Papua dibandingkan petugas keamanaan.

Dr Yusak juga meminta supaya pemerintah serius untuk memberikan kewenangan besar pada Pemerintah Papua supaya UU Otonomi khusus tidak gagal seperti sebelumnya. Andi Yani juga menegaskan supaya pemerintah memperhatikan kemungkinan adanya minority veto dimana kelompok-kelompok minoritas diberikan hak-hak politik lebih besar untuk menolak berbagai tindakan atau kebijakan yang kemungkinan dapat menggerus pengakuan identitas mereka. Untuk itu dibutuhkan upaya rekayasa kelembagaan yang lebih adatif dan kompleks dalam memediasi kepentingan semua kelompok untuk mendorong perdamaian bumi Papua yang lebih berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan