News  

Manusia yang Kehilangan Nurani dan Akal Sehat

Walai.id – Di tengah kebingungan dunia dalam mencari cahaya kehidupan, manusia sering kali terjebak dalam pusaran ideologi-ideologi pragmatis. Individualisme, materialisme, hedonisme, dan pragmatisme begitu kuat mengalir dalam pikiran manusia, hingga menutupi naluri dan akal sehat mereka.

Determinisme peradaban saat ini mengarah pada satu prinsip yang kian mendalam: “Untuk menggapai bintang, orang besar harus berdiri di atas kepala orang kecil.” Realitas ini semakin jelas terlihat, di mana sistem memaksa manusia untuk menerima kesalahan sebagai hal yang dibenarkan. Sementara kebenaran itu sendiri tersembunyi di balik topeng para penguasa, pemimpin, dan otoritas yang mendominasi narasi kebenaran.

Keadilan kini semakin menjadi benda sejarah yang tak layak untuk dipertontonkan, sementara ketimpangan dan keserakahan justru dipromosikan. Politik pun telah berubah menjadi pasar bagi para pedagang yang hanya mengejar keuntungan pribadi. Agama banyak dipelintir untuk kepentingan tertentu, dengan ayat-ayat Tuhan diubah menjadi alat legitimasi untuk menutupi kejahatan dan menjadikan kemarahan serta keburukan seolah-olah sah dan diterima. 

Budaya dan seni, yang seharusnya memberi kesejukan bagi jiwa yang dahaga, kini telah terdistorsi menjadi ekspresi bebas yang menggerogoti nilai-nilai luhur seni. Seni yang seharusnya menjadi manifestasi keindahan kini berubah menjadi objek hampa yang hanya mengejar uang, popularitas, dan reputasi. Ia kehilangan tanggung jawab sosial dan berubah menjadi tontonan vulgar yang tidak bermakna.

Kemerdekaan telah disalahartikan menjadi kebebasan mutlak yang, tanpa disadari, justru menjebak kita dalam penjajahan terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Sepertinya umat manusia kini telah kehilangan sesuatu yang paling berharga: nurani dan akal sehat. Dan lebih tragis lagi, kehilangan ini tidak banyak disesali, karena kondisi jiwa manusia kini telah jauh berubah. Cara pandang, gaya hidup, dan kecenderungan berpikir kita kini hanya berfokus pada hedonisme dan materialisme.

Materialisme bukanlah ideologi baru. Ia adalah ideologi lama yang sudah ada sejak zaman Habil dan Qabil, yang berjuang demi “perempuan” dan “harta”, sebuah manifestasi materialisme yang paling vulgar dalam pandangan maskulin. Sejak itu, materialisme telah menjadi berhala besar yang menggantikan posisi Tuhan dalam kehidupan manusia. Dari materialisme ini lahir Marxisme, kapitalisme, modernisme, dan eksistensialisme, yang semuanya mengukur segalanya dengan parameter materialistik: pembangunan, pendidikan, kemajuan, kesejahteraan, bahkan kesalehan keberagamaan seseorang.

Dalam kenyataannya, kesalehan agama pun kini diukur secara kuantitatif: berapa banyak sedekah yang diberikan, berapa kali menunaikan ibadah haji, atau berapa banyak rumah ibadah yang dibangun. Semua dinilai berdasarkan angka-angka, bukan kualitas spiritualnya.

Melihat semua realitas ini, siapa yang patut disalahkan? Mungkin kita tidak bisa menyalahkan siapa pun, baik negara, pejabat, penegak hukum, bahkan Tuhan. Sebab pada akhirnya, kita patut menyalahkan diri kita sendiri, karena seringkali kita adalah tanah subur bagi tumbuhnya penyakit sosial dalam masyarakat. Kepedulian kita terhadap ketimpangan sosial semakin berkurang, sehingga kita tidak lagi melihatnya sebagai hal yang memprihatinkan. Sebaliknya, banyak dari kita yang semakin sibuk mengejar kesenangan sementara, hanya mengikuti keinginan, bukan kebutuhan yang sesungguhnya.

Catatan Ali Syari’ati

Oleh Muh Taufik Hidayat

Ketua Cabang HMI Buttasalewangang

Maros, 11/1/2025.