Oleh : Idham Malik*
Saya mengenalnya pada 2011 lalu, di sebuah warung kopi beratap rumbia dan berdinding bambu, dengan aroma kopi yang kuat. Mungkin dari beberapa pecinta kopi di sini masih mengingat warung kopi Mammiri, yang dibesut oleh Om Roy sebagai peracik kopinya.
Di hari-hari yang tak jelas itu, setamat 6 tahun kuliah, dan setelah mengadu diri di sebuah gudang kepiting di Jakarta. Jadilah saya menggelandang di Makassar, dengan dana minim, saya bersama beberapa teman nongkrong saban hari di warkop, sambil mengintai senior-senior yang lagi kosong, untuk saya ajak bercerita dan sekaligus curi ilmunya.
Kebetulan, suatu ketika M. Nawir lagi duduk sendiri, tampak menseriusi sebuah konten. Kami mendekatinya. Ternyata ia lagi mengutak-atik komponen di blog-nya, yaitu Rumah Kampung Kota. Saat itu, kami menanyakan pengalaman-pengalamannya, ia bercerita dengan nada yang agak kecil yang mengharuskan kami agak dekat untuk menangkap pesan. “Saya ditugaskan untuk mempelajari kasus perusahaan sawit, terkait dengan penggunaan pestisida,” kata Awi Mn. Kami pun termangu sewaktu ia menambahkan jika ia ikut mendaftar menjadi buruh sawit.
Ia pun memberi tips, jika ingin menjadi fasilitator yang baik, jadilah pendengar dan penyimak yang baik, dan lebih banyaklah bertanya. Itu pun yang menjadi pegangan dan cara hidupnya, untuk melakukan pemberdayaan.
Saya mengingat pesannya itu setelah ia menjelaskan kembali metodelogi dalam melakukan pemberdayaan dengan masyarakat, yaitu Analisis Sosial, pada pelatihan Fasilitator Komunitas, 20-22 November 2021. Menurutnya, kita harus menyatu dengan masyarakat dampingan, menggali informasi sebanyak mungkin dengan lebih banyak mendengar dan bertanya untuk menemukan pokok-pokok permasalahan hingga ke akar-akarnya. Lalu melihat hubungan problem dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Carilah cela untuk problem solving, hingga fasilitasi mereka untuk bertindak bersama.
Hal itu berarti kita tak dianjurkan untuk langsung memaparkan program, tapi menunggu hingga ketemu akar dan benang merahnya. Setelah itu melakukan pendampingan, baik melalui fasilitasi akses informasi, menghubung-hubungkan dengan para pihak, hingga jika agak rumit karena berseberangan dengan kepentingan kelompok lain, maka mau tidak mau mesti menempuh jalur advokasi.
Pada hari ketiga pelatihan, kami diajak memikirkan langkah-langkah dalam advokasi. Menurutnya, advokasi ini penting, karena sejauh ini pembuatan kebijakan publik seringkali dikuasai oleh elit. Masih adanya marjinalisasi yang berujung pada terhambatnya pemenuhan hak publik. Proses lobi, negosiasi, mediasi, dan kalaborasi dijelaskan cukup apik dan berbasis pengalaman.
“Untuk proses negosiasi, usahakan carilah orang yang selevel dengan lawan negosiasi. Usahakan terlebih dahulu mematangkan poin-poin yang ingin dinegosiasikan. jika misalnya tidak sesuai dengan poin, sebaiknya kembali ke tim dan jangan memutuskan kesepakatan sendiri tanpa melibatkan tim,” anjurnya.
Pengetahuan ini penting diketahui oleh para pegiat komunitas, sebab kadang-kadang pegiat komunitas menempuh cara ekstrim untuk penanganan sebuah kasus. Misalnya, langsung masuk ke ranah hukum, sebelum menempuh jalur-jalur informal seperti lobi dan negosiasi. Di samping itu, lemahnya para pegiat komunitas jika sudah berbicara pada ranah hukum. Misalnya istilah legal drafting, konsep tanding, judicial review, legal standing hingga ligitasi. Harapannya dengan penjelasan ini, akan memberi rasa mawas kepada kami untuk menempuh tahap-tahap advokasi.
“Untuk membangkitkan moral warga dampingan, usahakan terdapat kemenangan-kemenangan kecil. Jika kita gagal dalam tahapan-tahapan awal, dapat memicu kehilangan kepercayaan masyarakat,” tambahnya. Saya mengingat catatannya mengenai advokasi masyarakat miskin kota dalam pelayanan hak-hak dasar seperti biaya pembuatan KTP, biaya uang buku sekolah, dl. KPRM memperoleh kemenangan kecil dengan bersama-sama mendesak Dinas Catatan Sipil untuk memberikan kewenangan pada KPRM (Komite Pembebasan Rakyat Miskin) untuk pencatatan surat nikah, kartu kelahiran hingga kartu raskin.
Pada pelatihan ini juga M. Nawir mengajak peserta untuk berefleksi model gerakan yang ditempuh oleh teman-teman komunitas saat ini. Ia mengidentifikasinya sebagai Gerakan Sosial Baru.
Gerakan sosial dimulai dengan gerakan volunterisme, yang merupakan respon dari ketidakadilan. “Hanya volunterisme yang dapat melahirkan gerakan sosial. Jika berbasis program baik pemerintah maupun swasta belum tentu dapat memicu gerakan sosial. Kecuali jika program itu diformat dalam bentuk pola volunterisme/kerelawanan,” ungkapnya.
Itulah mungkin gerakan rehabilitasi/restorasi mangrove di Sulawesi Selatan dapat bergerak massif dan melibatkan begitu banyak relawan dapat mulus berjalan, jika dibandingkan dengan program-program lingkungan yang lain, sebab dalam prosesnya berbau kerelawanan. Barangkali, pola yang awalnya masuk dalam kamar community development (fasilitasi pembangunan) ini didesain untuk berwarna community organizer (fasilitasi pengorganisasian wrga).
Hanya saja, semangat kerelawanan yang ditandai tujuan umum yang diyakini secara kuat, seringkali adanya kepemimpinan karismatik, kepemimpinan tak terstruktur di tingkat lokal, struktur organisasi yang sederhana, spontanitas dan berbasis momentum, pengambilan keputusan yang tidak sistematik, kelompok-kelompok informal-relawan, jaringan kerja yang kuat dan saling berbagi sumberdaya, terbuka dan dikenal, kepemimpinan voluntir dengan komitmen tinggi, tidak ada keanggotaan yang jelas ini membutuhkan maintenance agar melangkah ke tahap selanjutnya yaitu aktivis/kader.
Semangat kerelawanan ini harus diasah sedemikian rupa dalam bentuk pendidikan. Agar para relawan dapat menjadi aktivis. Orang yang aktif bergerak untuk perubahan sosial. “Sebab, sekali kita masuk dalam dunia aktivisme/komunitas ini, kita akan terus menerus di situ. Pada dasarnya kita dibentuk oleh komunitas yang kita geluti,” ucapnya. Hanya saja, harus ada pihak yang mewakafkan diri untuk melatih para relawan ini menjadi kader/aktivis.
“Tapi, tidak gampang juga untuk jadi aktivis. Misalnya untuk mendatangi para petambak di Lakkang mengenai kondisi tambaknya. Biasa juga orang malas untuk lakukan kegiatan rutin atau aktif seperti itu,” kata M. Nawir.
Menjadi aktivis dapat pula berarti menjadi kritis, atau sudah masuk ke taraf kesadaran kritis. Melihat persoalan hingga ke akar-akarnya, yaitu pada hubungan struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan bergerak untuk mendorong perubahan sosial. Menuju perubahan sosial ini tidak mesti identik dengan aksi kampanye, protes, boycot, ataupun gerakan-gerakan massa dalam bentuk non kekerasan. Tapi, dapat pula dalam bentuk fasilitasi warga melalui kegiatan gotong royong, sebagai kader organisasi berbasis kemanuisaan ataupun komunitas masyarakat.
Hal ini dapat ditempuh kira-kira dengan terus mengasah diri menjadi fasilitator yang baik. Lebih banyak mendengar, menyimak, dan bertanya, lalu mengkompilasi, menganalisis, merumuskan, dan bergerak bersama-sama. Sebab, kata kunci fasilitasi adalah facilis atau memudahkan, bukan justru menyulitkan masyarakat dengan aturan-aturan baru, konsep-konsep baru.
Saya kira, poin-poin materi tidak dapat saya rangkum semua di kolom ini, ada baiknya jika saya pecah dan kabarkan ke kawan-kawan bijak di kesempatan berikutnya.
*) Penulis adalah Koordinator Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) Wilayah Sulsel