News  

Pemerintahan Tandingan dan Ancaman Perang Saudara di Myanmar

Yangoon – Anggota parlemen, pemimpin demo, hingga petinggi suku di Myanmar meresmikan pemerintah tandingan junta militer yang disebut Pemerintah Persatuan Nasional (National Unity Government/NUG) pada Jumat pekan lalu.

NUG dibentuk sebagai upaya rakyat sipil melawan junta militer dari sisi politik, dengan tujuan mendapatkan dukungan serta pengakuan internasional. Pemerintahan tandingan itu juga ditetapkan demi memulihkan demokrasi dan pemerintah sipil Myanmar.

Pemerintahan sipil yang digulingkan militer sebelumnya juga telah membentuk Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) pada Februari lalu. CRPH dibentuk sebagai komite pemerintah sipil “darurat” yang terdiri dari sejumlah anggota parlemen yang digulingkan militer dalam kudeta.

“Mari kita sambut pemerintahan rakyat,” kata aktivis demokrasi veteran, Min Ko Naing, dalam pidato peresmian NUG dalam video selama 10 menit seperti dikutip Reuters.

Baca Juga :  Kebijakan Biodiesel B40 Hemat Rp271 Triliun dan Serap Jutaan Tenaga Kerja pada 2025

Di dalam NUG, mantan ketua DPR Myanmar yang berasal dari suku Karen, Mahn Win Khaing, menjabat sebagai perdana menteri. Sementara itu, jabatan pemimpin de facto (penasihat negara) dan presiden Myanmar tetap diduduki oleh Aung San Suu Kyi dan U Win Myint. Keduanya kini masih menjadi tahanan junta militer.

Pasca kudeta militer berlangsung, perang saudara di Myanmar tinggal menunggu waktu untuk pecah. Dua bulan lebih kudeta berlangsung, pemberontakan rakyat sipil terhadap junta militer terus meluas ke segala penjuru negeri.

Di perkotaan, kaum muda, profesional, hingga pegawai negeri berbondong-bondong turun ke jalan, melakukan segala cara menyuarakan tuntutan mereka agar Myanmar bisa kembali demokratis. Banyak dari para demonstran tak kembali ke rumah. Keringat dan perjuangan untuk negeri dibayar gas air mata hingga peluru tajam aparat keamanan.

Baca Juga :  Menkomdigi Sambungkan Internet Cepat ke Sekolah Rakyat

Berdasarkan data kelompok aktivis Asosiasi untuk Tahanan Politik (AAPP), setidaknya lebih dari 710 orang tewas dalam bentrokan aparat dan demonstran anti-kudeta sejak 1 Februari lalu. Menurut laporan UN Children, 46 dari 700 korban tewas itu merupakan anak-anak.

Sekitar 3.000 orang juga telah ditahan aparat, di mana puluhan dari mereka telah divonis hukuman mati secara diam-diam oleh junta militer. Sementara itu di pelosok, milisi etnis gencar melakukan perlawanan terhadap junta militer dengan menyerang pos-pos keamanan.