Walai.id, Jakarta — Plt. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menegaskan pentingnya pemahaman mendalam tentang pengaruh iklim dan cuaca terhadap kehidupan manusia.
Ia menyatakan bahwa perubahan iklim telah mencapai tahap kritis, sehingga seluruh pemangku kepentingan harus melakukan mitigasi dan pencegahan bencana secara efektif.
“Kekeringan dan banjir adalah dua sisi mata uang dari perubahan iklim. Keduanya akan semakin parah dan terus berlanjut setiap tahunnya,” ujar Dwikorita dalam Webinar Nasional bertajuk “Refleksi Banjir JABODETABEK: Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem” dalam rangka Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-75 di Jakarta, Senin, 25/3/2025.
BMKG mencatat bahwa periode 2015-2024 merupakan dekade terpanas dalam sejarah, dengan tahun 2024 mencatat anomali suhu sebesar 1,55 derajat Celcius di atas rata-rata pra-industri, melampaui target Kesepakatan Paris. Kenaikan suhu permukaan dan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) secara langsung memicu cuaca ekstrem, seperti banjir besar yang melanda Jabodetabek pada awal Maret 2025.
Banjir di Jabodetabek pada 2025 berdampak pada lebih dari 37 ribu kepala keluarga, dengan curah hujan di Bekasi mencapai lebih dari 200 mm per hari. Meskipun lebih rendah dibandingkan banjir 2020 (300 mm per hari), tren curah hujan ekstrem tetap meningkat seiring dengan perubahan iklim.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, menekankan perlunya pembangunan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan. “Pembangunan nasional ke depan harus berbasis pada pemahaman risiko, dengan memanfaatkan data akurat dari BMKG. Ketahanan iklim dan kebencanaan harus menjadi prioritas utama,” ujar Agus.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, juga mengakui bahwa kondisi geografis Jakarta yang dilalui 13 sungai membuatnya sangat rentan terhadap banjir. Pemprov DKI Jakarta kini memaksimalkan penggunaan teknologi peringatan dini berbasis BMKG Signature untuk memberikan informasi cuaca secara akurat dan tepat waktu.
Pemprov Jawa Barat juga memperkuat mitigasi bencana dengan mengembalikan fungsi kawasan lindung dan melarang penggunaan area resapan air untuk pembangunan. Kepala Biro Perekonomian Jabar, Yuke Maulani Septina, mengatakan bahwa alih fungsi lahan di hulu menjadi penyebab utama banjir di wilayahnya.
Dwikorita menekankan pentingnya kolaborasi dalam menghadapi bencana. Mata rantai kebencanaan harus kokoh dengan melibatkan BMKG sebagai pemberi informasi dini, pemerintah daerah, BNPB, Badan SAR, TNI, Polri, media massa, dan masyarakat sebagai penerima informasi.
“Kita harus mengubah pola pikir dan pendekatan dalam menangani perubahan iklim. Kolaborasi dari seluruh pihak sangat dibutuhkan agar potensi bencana dapat diminimalisir dan keselamatan masyarakat tetap terjaga,” tutup Dwikorita.