Haji yang Terstruktur
Oleh:
Hamdan Juhannis
Anggota Tim Monev Haji 2024
Saya ingin berbicara tentang petugas haji yang terstruktur, bukan struktur petugas haji, karena menurut saya keduanya berbeda. Struktur petugas haji lebih bersifat administratif, terlihat di atas kertas atau di denah yang digantung di dalam ruangan, di mana tertulis ketua atau koordinator dan seterusnya ke bawah.
Pembicaraan saya adalah tentang petugas haji yang terstruktur. Ini lebih menarik ditelisik karena bersifat fungsional dan operasional, terjadi di lapangan atau di arena. Mencermati pelaksanaan Haji tahun 2024, ada rasa takjub melihat bagaimana struktur tersebut bergerak dinamis pada jalurnya masing-masing.
Mari mengambil contoh dengan membahas petugas di lapangan. Pada pelaksanaan haji di Mekah, daerah yang ditempati jamaah haji terbagi dalam beberapa sektor. Istilah sektor ini berasal dari pembagian kawasan atau daerah yang ditempati jamaah haji. Sektor ini juga berdasar pada pengelompokan jamaah berdasarkan embarkasi penerbangannya. Misalnya, di Sektor Satu yang berada di daerah Syisyah, ditempati oleh jamaah yang sebagian besar berasal dari embarkasi Makassar yang lebih umum disebut “jamaah UPG”.
Hotel yang ditempati sudah dilabeli dengan kode sektornya secara berurutan, misalnya sebuah hotel diberi nama “Hotel Indonesia 101”, artinya di Sektor Satu, Hotel 01. Jadi bila seseorang mencari kerabat atau jamaah, cukup menanyakan nomor hotel yang ditempati, dan tidak perlu menghafal nama asli dari hotel tersebut.
Petugas Haji juga menempatkan nomor itu secara berurutan. Jadi kesan pertama yang muncul saat berada di sebuah sektor adalah seperti berada di kota sendiri, karena di depan hotel terpampang nama dengan jelas, tulisan “Hotel Indonesia” yang disertai dengan foto-foto petugas kloter yang ada di hotel tersebut. Belum lagi di pagi hari, saat berjalan di kloter UPG, kerumunan penjual semakin membuat kita merasa seperti berbelanja di pasar-pasar tradisional di Makassar.
Jadi sebuah sektor membawahi beberapa kloter yang berada di hotel-hotel tersebut. Di sebuah kloter itu terdapat beberapa petugas yang bertanggung jawab terhadap ratusan jamaah. Ketua kloter didampingi oleh satu pembimbing haji, dan tiga petugas kesehatan, yang terdiri dari satu dokter dan dua perawat.
Di kloter tersebut juga terdapat Tim Pendamping Haji Daerah (TPHD) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah asal sebuah kloter yang tugasnya memperkuat kerja-kerja kloter. Tim daerah ini berkoordinasi setiap saat dengan ketua sektor yang memiliki struktur kerja dan juga berkantor di sektornya masing-masing.
Hal yang ingin kami bentangkan adalah bahwa dari kegiatan haji di lapangan, sangat jelas betapa pemerintah berusaha membuat situasi senyaman mungkin bagi para jamaah, agar mereka tidak merasa menjadi orang asing di tanah suci, selalu merasa “feeling at home”. Tujuannya supaya tidak terjadi “homesick” yang bisa berdampak pada kurang fokusnya jamaah dalam beribadah.
Karena tema haji tahun ini masih berkisar Haji Ramah Lansia, penyediaan ruang kenyamanan bagi para lansia menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Memberi kesempatan kepada pendamping lansia untuk mendapatkan porsi haji mengikuti orangtua atau keluarga yang sudah lansia adalah contoh yang sangat konkret.
Doktrin bahwa petugas haji harus lebih mendahulukan pelayanan dibanding melaksanakan ibadah haji juga merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Pelayanan adalah tugas utama, berhaji adalah bonus. Petugas yang tidak disiplin dan tidak menjalankan fungsinya juga sudah pasti berhadapan dengan sanksi oleh organ khusus yang dibentuk oleh penyelenggara haji pusat. Jargon yang berkembang di kalangan petugas haji di lapangan adalah “mengajak yang muda untuk melayani yang tua,” sekaligus menetralkan plesetan “melayani yang tua, menyayangi yang muda”. Itulah haji yang terstruktur, bukan sebatas struktur haji.