News  

Ada Program GAK, Chaidir Syam Harap Mindset Orangtua Berubah

Maros – Deklarasi Gerakan Ayo Kuliah (GAK) Stop Perkawinan Anak menggema di Maros. Kegiatan yang digagas Lembaga Peningkatan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP3A) bersama dengan program keluarga harapan (PKH) itu dapat sambutan yang baik dari pemerintah daerah (Pemda).

Bupati Maros Chaidir Syam, sebelum membuka kegiatan tersebut memberikan apresiasi terhadap bentuk mencegah dan melindungi serta tidak membiarkan terjadinya perkawinan anak itu.

“Bukan hal yang mudah bagi SDM PKH untuk mengajak anak-anak masuk ke bangku kuliah. Bukan hanya dari tingkat kesejahteraan, pola pikir orang tua pun yang berpikir anak perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi cukup menjadi penghambat,” kata Chaidir dalam sambutannya di gedung Baruga A kantor Bupati Maros. Kamis (22/4/2021).

Baca Juga :  Bupati Maros dan Forkopimda Meriahkan Senam HUT Maros ke-66

Mantan ketua DPRD Maros itu bilang, salah satu inovasi ini, diharapkan di masa mendatang, dengan melanjutkan kuliah ada peluang mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dan kita bisa turut berkontribusi memutus warisan kemiskinan antar Generasi.

“Dengan mereka berkuliah ini menjadi pintu terakhir dalam penuntasan kemiskinan di kabupaten Maros. Karena target yang kita dampingi ini berasal dari keluarga prasejahtera. Selain menekan angka kemisminan ini juga sebagai sarana untuk mereka meningkatkan kualitas diri. Serta kedepannya dapat melahirkan anak yang baik dan cerdas,” ungkapnya.

Selaras dengan hal ini, Kepala Dinas Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) kabupaten Maros, Idrus menyebut berdasarkan proposisi perempuan 20 – 24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun, kabupaten Maros berada pada persentase 12,4%.

Baca Juga :  Kejari Maros Tetapkan Tersangka Baru Korupsi Internet

“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten Maros, angka perkawinan anak menurun 1,25%. Terhitung tahun 2019 angka perkawinan anak berada pada persentase 7,42% dan menurun di tahun 2020 yang tecatat sebesar 6,16%,” beber Idrus.

Ia mengatakan bahwa kasus perkawinan anak berada dikeluaga- keluarga prasejahtera. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang merupakan korban putus sekolah.

“Saya berharap, anak-anak yang menjadi korban putus sekolah dapat ditarik dalam penyetaraan pendidikan. Terlebih untuk anak-anak yang baru saja lulus SMA. Karena jika ia tetap putus sekolah mereka akan disuruh untuk cepat bekerja guna memenuhi kebutuhan ekonomi dan rawannya ialah dinikahkan,” jelasnya lanjut.